Senin, 26 September 2011

Kekuatan Dalam Kedamaian Sebuah Memaafkan

Walaupun Allah telah banyak menjelaskan dalam firman- firman Nya, bahwa salah satu ciri orang yang bertaqwa adalah memaafkan kesalahan orang lain, namun dalam prakteknya memaafkan adalah bukan perkara yang mudah. Bahkan setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa dan dalam suasana ‘Idul Fitri, ketika manusia yang lain larut dalam suasana saling memaafkan, ternyata masih tersisa jiwa- jiwa yang merasa berat untuk memaafkan sesamanya.

Masih ingatkah kita akan kisah Abu Bakar As-Shiddiq yang pada suatu hari bersumpah untuk tidak lagi membantu Misthah bin Atsatsah, salah seorang kerabatnya? Begitu berat kenyataan itu bagi beliau karena Misthah bin Atsatsah telah ikut menyebarkan berita bohong tentang putri beliau yaitu siti Aisyah. Tetapi Allah yang maha Rahman melarang sikap Abu Bakar tersebut, sehingga turunlah ayat ke-22 dari surah An-Nur.

“Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan mem beri (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah. Hendaklah mereka memaafkan dan berla pang dada. Apakah ka mu tidak ingin agar Allah meng ampunimu? Sesungguhnya, Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An-Nur: 22).

Ayat ini mengajarkan kepada kita agar melakukan sebuah hal mulia kepada orang yang pernah berbuat dosa kepada diri kita, yaitu memaafkan.Dan sebuah kemaafan masih belum sempurna ketika masih tersisa ganjalan, apalagi dendam yang membara didalam hati kita.

Islam diturunkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Dan sebuah keberuntungan ketika kita mengikhlaskan hati menerima Islam sebagai jalan hidup, yaitu berarti kita tertuntun sebagai manusia yang senantiasa membawa berkah dan kedamaian bukan hanya untuk diri kita namun juga semua makhluk disekitar kita. Salah satu kebesaran kedamaiannya akan merujuk pada setiap jiwa yang dengan rela memaafkan. Hal itu juga akan melingkupi batin manusia lain yang ada disekitarnya.

Sudah ringankah hati kita untuk menghantarkan maaf dan membalas orang- orang yang telah dengan sengaja atau tidak menyakiti hati kita?

Tak perduli siapapun dan bagaimanapun kita sekarang, namun satu yang pasti, kerendahan hati kita untuk memaafkan dan meminta maaf mencerminkan ketinggian dan keluhuran budi sebagai manusia.

Berikan senyum dan jabat tangan orang yang meminta maaf dengan ikhlas kepada anda, begitupun sebaliknya. Jangan biarkan kekerasan hati hadir sebagai pembatas dan pemungkas semua keikhlasan kita untuk menuju kesucian diri.

Jangan biarkan hati dikuasai ego dan emosi, apalagi hanya sekedar kepentingan duniawi. Betapa indah hari yang fitri, sebagai nikmat dan karunia Ilahi yang tiada batas, yang terikat dalam jalinan silaturahmi.

Jika hari raya hanya sekedar basa basi senyum dan keramahan dan hanya merupakan sekedar formalitas pengisian sebuah momen, tanpa hadirnya kemaafan yang datang dengan ringan mengalir dihati, lalu dimanakah letak kemenangan sesungguhnya atas penguasaan dan kontrol diri kita?

Untuk apa kita harus dengan detail membuat neraca kesalahan orang lain sehingga hal tersebut malah semakin menggambarkan kekerdilan jiwa kita. Bukankah tidak ada manusia yang sempurna di muka bumi ini?

Memaafkan ibarat bunga yang melepaskan keharumannya, pada kaki seseorang yang telah menginjaknya. Keharumannya tidak akan terbuang percuma, dan bahkan mungkin penyesalan yang akan melingkupi hati manusia yang telah menyia-nyiakannya.

Sifat mudah memaafkan dan meminta maaf hanya dimiliki oleh hamba- hamba yang terpilih karena keluasan hati mereka yang pastinya sangat membahagiakan, bukan hanya bagi dirinya sendiri, namun juga bagi makhluk disekitar mereka.

Memaafkan adalah rejeki. Setidaknya dengan memaafkan, relasi kita tidak pernah berkurang. Ini berarti perantara kita mendapatkan rezeki juga tidak pernah berkurang. Bahkan rezeki dari Allah Subhanahu Wata`ala adalah sebagian besar melalui perantaraan dari orang lain.

Semoga Allah menggolongkan kita atas hamba- hamba Nya yang berhati lembut karena mudah tersadar atas kesalahan diri dan ringan dalam meminta maaf. Dan semoga kita tergolong hamba- hamba yang berjiwa besar karena keluasan hati kita dalam memaafkan saudara- saudara kita yang telah menyakiti kita. Aamiin.

Keajaiban Bersyukur Dan berpikir Positif

Hal apapun akan terasa indah bagi orang- orang yang bersyukur. Lihatlah betapa keajaiban selalu melingkupi kehidupan orang-orang yang penuh syukur dan tidak lupa melihat kebawah, dalam menyikapi sebuah masalah yang datang dalam hidupnya. Tidak seperti air yang beriak, dia tidak mudah berteriak, marah ataupun menggerutu dengan apapun yang datang kepadanya, kecuali malah dipersilahkannya mendidik dirinya agar menjadi lebih indah.

Orang yang bersyukur dengan otomatis akan mensetting pola pikirnya menuju yang positif. Dan ibarat yang mendera fisik dan batinnya pun tetap disikapinya dengan senyum.

Pikirannya menuntunnya untuk berpendapat bahwa, mungkin kesakitan itu untuk menghapus dosanya, atau mungkin mengingatkan dia agar lebih dekat kepada yang kuasa dan beristigfar atas semua dosa dan khilafnya.

Bagi orang yang mudah meringankan hatinya untuk bersyukur, akan merasa sangat menyayangkan sekali ketika dia hanya bisa menilai orang dari sudut pandang kelemahan mereka saja. Karena kesyukuran itu bukan hanya diterapkan kepada jalan hidupnya, namun juga dalam ringannya penerimaan orang lain untuk masuk ke dalam hatinya. Tidak mudah mulutnya mencaci, dan berat bagi hatinya untuk mengghibah kekurangan saudaranya, walau hanya dia dan Allah saja yang mengetahui.

Pikirannya berkata, `ah, betapa sudah banyak orang yang dengan pola pikir negatif dan selalu merongrong saudaranya seperti itu. Dan itu sama sekali tidak menjadikan diri mereka sendiri hebat atau lebih hebat, tapi malah sebaliknya. Memanglah ada kekurangan dalam diri orang tersebut, tapi bukankah kelebihannya juga ada. Allah tidak akan mungkin mendholimi orang itu dengan tidak menciptakan keseimbangan atas keburukan dan kelebihannya. Atau jangan- jangan malah kelebihannya lebih banyak? Atau jangan- jangan dia lebih mulia dihadapan Allah dari pada diriku sendiri?. Dan bukankah kekurangannya juga bukan hanya merupakan cobaan baginya saja, namun juga bagiku agar aku lebih belajar sabar?. Sungguh Allah memang maha benar dalam mendidikku`.

Subhanallah, masalah yang melingkupi dunia ini akan terasa sangat indah bagi orang- orang yang bersyukur dan berpikir positif.

Pun demikian ketika dia harus berhadapan dengan pasangan hidupnya. Kekurangan yang ada pada pasangannya di anggap sebuah proyek seumur hidup yang memang akan menggemblengnya menjadi pribadi yang lebih indah. Memang, terkadang ada sedikit komplain, namun lebih banyaklah senyum dan gerak nyata untuk sebuah perbaikan. Bukan hanya sekedar jalan ditempat, tanpa harapan berarti.

Baginya, pasangan adalah pasti hadiah dari sang maha kuasa. Yang harus disayangi dan diperlakukan dengan kasih sayang, termasuk sepaket dengan kekurangan mereka. Pasangan mereka adalah cermin pridadinya sendiri, persis ketika Allah yang maha kuasa berfirman bahwa, orang yang baik atau buruk, akan diberikan level yang sama sebagai pasangannya. Dalam hati orang yang bersyukur ini, sungguh tidak ada masalah yang akan diberikan Allah melebihi kemampuan dirinya. Dan akhirnya, semuanya terasa ringan untuk dijalani.

Dan hidup adalah tentang pilihan, dan setiap hari kita dihadapkan kepada pilihan- pilihan yang banyak sebagi obyek pembentuk masa depan kita nanti. Dan bukankah tidak ada manusia yang ingin kesulitan datang kepadanya disebabkan kekeliruannya sendiri? Maka mengapa kita tidak memilih bersyukur dan berpikir positif sehingga kebahagiaan yang insyaallah akan selalu menghampiri kita? Mengapa harus menyulitkan diri sendiri?.

Kekurangan dan kesusahan tanpa kita mencari dan mengundangnya, pastilah akan sudah ada. Tapi kebahagiaan dan kedamaian adalah sesuatu yang memang harus diperjuangkan agar kita mendapatkan. Tapi hal itulah justru yang membentuk harapan untuk hidup selalu akan ada. Dan hal itu adalah penting, karena sedetik orang tak punya uang, dia pun bisa tetap mencari, tapi sedetik orang tak punya lagi harapan dan gairah untuk hidup, maka baginya dimanapun di sudut dunia ini, adalah tidak lagi berarti.

Dan harapan itu akan selalu ada bagi orang- orang yang bersyukur dan berpikir positif. InsyaAllah.

Selasa, 20 September 2011

ALLAH MENGABULKAN DOA SETIAP ORANG

Allah Yang Mahakuasa, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang, telah berfirman dalam al-Qur'an bahwa Dia dekat dengan manusia dan akan mengabulkan permohonan orang-orang yang berdoa kepada-Nya. Adapun salah satu ayat yang membicarakan masalah tersebut adalah:
"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi-Ku, dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." (Q.s. al-Baqarah: 186).

Sebagaimana dinyatakan dalam ayat di atas, Allah itu dekat kepada setiap orang. Dia Maha Mengetahui keinginan, perasaan, pikiran, kata-kata yang diucapkan, bisikan, bahkan apa saja yang tersembunyi dalam hati setiap orang. Dengan demikian, Allah Mendengar dan Mengetahui setiap orang yang berpaling kepada-Nya dan berdoa kepada-Nya. Inilah karunia Allah kepada manusia dan sebagai wujud dari kasih-sayang-Nya, rahmat-Nya, dan kekuasaan-Nya yang tiada batas.

Allah memiliki kekuasaan dan pengetahuan yang tiada batas. Dialah Pemilik segala sesuatu di seluruh alam semesta. Setiap makhluk, setiap benda, dari orang-orang yang tampaknya paling kuat hingga orang-orang yang sangat kaya, dari binatang-binatang yang sangat besar hingga yang sangat kecil yang mendiami bumi, semuanya milik Allah dan semuanya berada dalam kehendak-Nya dan pegaturan-Nya yang mutlak.

Seseorang yang beriman terhadap kebenaran ini dapat berdoa kepada Allah mengenai apa saja dan dapat berharap bahwa Allah akan mengabulkan doa-doanya. Misalnya, seseorang yang mengidap penyakit yang tidak dapat disembuhkan tentu saja akan berusaha untuk melakukan berbagai macam pengobatan. Namun ketika mengetahui bahwa hanya Allah yang dapat memberikan kesehatan, lalu ia pun berdoa kepada-Nya memohon kesembuhan.

Demikian pula, orang yang mengalami ketakutan atau kecemasan dapat berdoa kepada Allah agar terbebas dari ketakutan dan kecemasan. Seseorang yang menghadapi kesulitan dalam menyelesaikan pekerjaan dapat berpaling kepada Allah untuk menghilangkan kesulitannya. Seseorang dapat berdoa kepada Allah untuk memohon berbagai hal yang tidak terhitung banyaknya seperti untuk memohon bimbingan kepada jalan yang benar, untuk dimasukkan ke dalam surga bersama-sama orang-orang beriman lainnya, agar lebih meyakini surga, neraka, Kekuasaan Allah, untuk kesehatan, dan sebagainya. Inilah yang telah ditekankan Rasulullah saw. dalam sabdanya:

"Maukah aku beritahukan kepadamu suatu senjata yang dapat melindungimu dari kejahatan musuh dan agar rezekimu bertambah?" Mereka berkata, "Tentu saja wahai Rasulullah." Beliau bersabda, "Serulah Tuhanmu siang dan malam, karena 'doa' itu merupakan senjata bagi orang yang beriman."1

Namun demikian, terdapat rahasia lain di balik apa yang diungkapkan dalam al-Qur'an yang perlu kita bicarakan dalam masalah ini. Sebagaimana Allah telah menyatakan dalam ayat:
"Dan manusia berdoa untuk kejahatan sebagaimana ia berdoa untuk kebaikan. Dan Manusia itu tergesa-gesa." (Q.s. al-Isra':11).

Tidak setiap doa yang dipanjatkan oleh manusia itu bermanfaat. Misalnya seseorang memohon kepada Allah agar diberi harta dan kekayaan yang banyak untuk anak-anaknya kelak. Akan tetapi Allah tidak melihat kebaikan di dalam doanya itu. Yakni, kekayaan yang banyak itu justru dapat memalingkan anak-anak tersebut dari Allah. Dalam hal ini, Allah mendengar doa orang tersebut, menerimanya sebagai amal ibadah, dan mengabulkannya dengan cara yang sebaik-baiknya. Sebagai contoh lainnya, seseorang berdoa agar tidak terlambat dalam memenuhi perjanjian. Namun tampaknya lebih baik baginya jika ia sampai di tujuan setelah waktu yang ditentukan, karena ia dapat bertemu dengan seseorang yang memberikan sesuatu yang lebih bermanfaat untuk kehidupan yang abadi. Allah mengetahui masalah ini, dan Dia mengabulkan doa bukan berdasarkan apa yang dipikirkan orang itu, tetapi dengan cara yang terbaik. Yakni, Allah mendengar doa orang itu, tetapi jika Dia melihat tidak ada kebaikan dalam doanya itu, Dia memberikan apa yang terbaik bagi orang itu. Tentu saja hal ini merupakan rahasia yang sangat penting.

Ketika doa tidak dikabulkan, orang-orang tidak menyadari tentang rahasia ini, mereka mengira bahwa Allah tidak mendengar doa mereka. Sesungguhnya hal ini merupakan keyakinan orang-orang bodoh yang sesat, karena "Allah itu lebih dekat kepada manusia daripada urat lehernya sendiri." (Q.s. Qaf: 16). Dia Maha Mengetahui perkataan apa saja yang diucapkan, apa saja yang dipikirkan, dan peristiwa apa saja yang dialami seseorang. Bahkan ketika seseorang tertidur, Allah mengetahui apa yang ia alami dalam mimpinya. Allah adalah Yang menciptakan segala sesuatu. Oleh karena itu, kapan saja seseorang berdoa kepada Allah, ia harus menyadari bahwa Allah akan menerima doanya pada saat yang paling tepat dan akan memberikan apa yang terbaik baginya.

Doa, di samping sebagai bentuk amal ibadah, juga merupakan karunia Allah yang sangat berharga bagi manusia, karena melalui doa, Allah akan memberikan kepada manusia sesuatu yang Dia pandang baik dan bermanfaat bagi dirinya. Allah menyatakan pentingnya doa dalam sebuah ayat:
"Katakanlah: 'Tuhanku tidak mengindahkan kamu, andaikan tidak karena doamu. Tetapi kamu sungguh telah mendustakan-Nya, karena itu kelak azab pasti akan menimpamu'." (Q.s. al-Furqan: 77)

" Allah Mengabulkan Doa Orang-orang yang Menderita dan Berada dalam Kesulitan
Doa adalah saat-saat ketika kedekatan seseorang dengan Allah dapat dirasakan. Sebagai hamba Allah, seseorang sangat memerlukan Dia. Hal ini karena ketika seseorang berdoa, ia akan menyadari betapa lemahnya dan betapa hinanya dirinya di hadapan Allah, dan ia menyadari bahwa tak seorang pun yang dapat menolongnya kecuali Allah. Keikhlasan dan kesungguhan seseorang dalam berdoa tergantung pada sejauh mana ia merasa memerlukan. Misalnya, setiap orang berdoa kepada Allah untuk memohon keselamatan di dunia. Namun, orang yang merasa putus asa di tengah-tengah medan perang akan berdoa lebih sungguh-sungguh dan dengan berendah diri di hadapan Allah. Demikian pula, ketika terjadi badai yang menerpa sebuah kapal atau pesawat terbang sehingga terancam bahaya, orang-orang akan memohon kepada Allah dengan berendah diri. Mereka akan ikhlas dan berserah diri dalam berdoa. Allah menceritakan keadaan ini dalam sebuah ayat:
"Katakanlah: Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut, yang kamu berdoa kepada-Nya dengan berendah diri dengan suara yang lembut: 'Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur'." (Q.s. al-An'am: 63).

Di dalam al-Qur'an, Allah memerintahkan manusia agar berdoa dengan merendahkan diri:
"Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (Q.s. al-A'raf: 55).

Dalam ayat lainnya, Allah menyatakan bahwa Dia mengabulkan doa orang-orang yang teraniaya dan orang-orang yang berada dalam kesusahan:
"Atau siapakah yang mengabulkan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu sebagai khalifah di bumi? Apakah ada tuhan lain selain Allah? Sedikit sekali kamu yang memperhatikannya." (Q.s. an-Naml: 62).

Tentu saja orang tidak harus berada dalam keadaan bahaya ketika berdoa kepada Allah. Contoh-contoh ini diberikan agar orang-orang dapat memahami maknanya sehingga mereka berdoa dengan ikhlas dan merenungkan saat kematian, ketika seseorang tidak lagi merasa lalai sehingga mereka berpaling kepada Allah dengan keikhlasan yang dalam. Dalam pada itu, orang-orang yang beriman, yang dengan sepenuh hati berbakti kepada Allah, selalu menyadari kelemahan mereka dan kekurangan mereka, mereka selalu berpaling kepada Allah dengan ikhlas, sekalipun mereka tidak berada dalam keadaan bahaya. Ini merupakan ciri penting yang membedakan mereka dengan orang-orang kafir dan orang-orang yang imannya lemah.

" Tidak Ada Pembatasan Apa pun dalam Berdoa

Seseorang dapat memohon apa saja kepada Allah asalkan halal. Hal ini karena sebagaimana telah disebutkan terdahulu, Allah adalah satu-satunya penguasa dan pemilik seluruh alam semesta; dan jika Dia menghendaki, Dia dapat memberikan kepada manusia apa saja yang Dia inginkan. Setiap orang yang berpaling kepada Allah dan berdoa kepada-Nya, haruslah meyakini bahwa Allah berkuasa melakukan apa saja dan bersungguh-sungguhlah dalam berdoa sebagaimana disabdakan oleh Nabi saw.2 Ia perlu mengetahui bahwa mudah saja bagi-Nya untuk memenuhi keinginan apa saja, dan Dia akan memberikan apa yang diminta oleh seseorang jika di dalamnya terdapat kebaikan bagi orang itu dalam doa tersebut. Doa-doa para nabi dan orang-orang beriman yang disebutkan dalam al-Qur'an merupakan contoh bagi orang-orang beriman tentang hal-hal yang dapat mereka mohon kepada Allah. Misalnya, Nabi Zakaria a.s. berdoa kepada Allah agar diberi keturunan yang diridhai, dan Allah pun mengabulkan doanya, meskipun istrinya mandul:
"Yaitu ketika ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. Ia berkata: 'Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah dipenuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi-Mu seorang putra. Yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub; dan jadikanlah ia ya Tuhanku, seorang yang diridhai'." (Q.s. Maryam: 3-6).

Maka Allah mengabulkan doa Nabi Zakaria dan memberikan kepadanya berita gembira tentang Nabi Yahya a.s.. Setelah menerima berita gembira tentang seorang anak laki-laki, Nabi Zakaria merasa heran karena istrinya mandul. Jawaban Allah kepada Nabi Zakaria menjelaskan tentang sebuah rahasia yang hendaknya selalu dicamkan dalam hati orang-orang yang beriman:
"Zakaria berkata, 'Ya Tuhanku, bagaimana akan ada anak bagiku, padahal istriku adalah seorang yang mandul dan aku sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua.' Tuhan berfirman, 'Demikianlah.' Tuhan berfirman, 'Hal itu mudah bagi-Ku, dan sesungguhnya telah Aku ciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu belum ada sama sekali'." (Q.s. Maryam: 8-9)

Ada beberapa Nabi lainnya yang disebutkan dalam al-Qur'an yang doa-doa mereka dikabulkan. Misalnya, Nabi Nuh a.s. memohon kepada Allah untuk menimpakan azab kepada kaumnya yang tersesat meskipun ia telah berusaha sekuat tenaga untuk membimbing mereka kepada jalan yang lurus. Sebagai jawaban dari doanya, Allah menimpakan azab besar kepada mereka yang tercatat dalam sejarah.

Nabi Ayub a.s. menyeru Tuhannya ketika ia sakit, ia berkata, "… Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang." (Q.s. al-Anbiya': 83). Sebagai jawaban terhadap doa Nabi Ayub, Allah berfirman sebagai berikut:

"Maka Kami pun mengabulkan doanya itu, lalu Kami hilangkan penyakit yang menimpanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah. (Q.s. al-Anbiya': 84).

Allah mengabulkan Nabi Sulaiman a.s. yang berdoa, "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh siapa pun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi." (Q.s. Shad: 35). Maka Allah mengaruniakan kekuasaan yang besar dan kekayaan yang banyak kepadanya.

Oleh karena itu, orang-orang yang berdoa hendaknya mencamkan dalam hati ayat ini, "Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, 'Jadilah.' Maka terjadilah ia. (Q.s. Yasin: 82) Sebagaimana dinyatakan dalam ayat ini, segala sesuatu itu mudah bagi Allah dan Dia Mendengar dan Mengetahui setiap doa.

" Allah Memberi Karunia di Dunia ini bagi Orang-orang yang Menginginkannya, Tetapi di Akhirat Mereka akan Menderita Kerugian

Orang-orang yang tidak memiliki ketakwaan kepada Allah dalam hatinya, dan imannya sangat lemah terhadap kehidupan akhirat, hanyalah menginginkan keduniaan. Mereka meminta kekayaan, harta benda, dan kedudukan hanyalah untuk kehidupan di dunia ini. Allah memberi tahu kita bahwa orang-orang yang hanya menginginkan keduniaan tidak akan memperoleh pahala di akhirat. Tetapi bagi orang-orang yang beriman, mereka berdoa memohon dunia dan akhirat karena mereka percaya bahwa kehidupan di akhirat sama pastinya dan sama dekatnya dengan kehidupan dunia ini. Tentang masalah ini, Allah menyatakan sebagai berikut:

"Di antara manusia ada orang yang berdoa, 'Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia,' dan tidak ada baginya bagian di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa, 'Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka.' Mereka itulah orang-orang yang mendapat bagian dari apa yang mereka usahakan, dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya. (Q.s. al-Baqarah: 200-2).


Orang-orang yang beriman juga berdoa memohon kesehatan, kekayaan, ilmu, dan kebahagiaan. Akan tetapi, semua doa mereka adalah untuk mencari keridhaan Allah dan untuk memperoleh kebaikan bagi agamanya. Mereka memohon kekayaan misalnya, adalah untuk digunakan di jalan Allah. Berkenaan dengan masalah ini, Allah memberikan contoh tentang Nabi Sulaiman di dalam al-Qur'an. Jauh dari keinginan untuk memperoleh dunia, doa Nabi Sulaiman untuk meminta kekayaan adalah demi tujuan mulia untuk digunakan di jalan Allah, untuk menyeru manusia kepada agama Allah, dan agar dirinya sibuk berdzikir kepada Allah. Kata-kata Nabi Sulaiman sebagaimana yang diceritakan dalam al-Qur'an menunjukkan niatnya yang ikhlas:
"Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik karena ingat kepada Tuhanku." (Q.s. Shad: 32).

Maka Allah mengabulkan doa Nabi Sulaiman a.s. tersebut dengan mengaruniakan kepadanya kekayaan yang sangat banyak di dunia dan ia akan memperoleh pahala di akhirat. Dalam pada itu, Allah juga mengabulkan keinginan orang-orang yang hanya menghendaki kehidupan dunia, namun azab yang pedih menunggu mereka di akhirat. Keuntungan yang telah mereka peroleh di dunia ini tidak akan mereka peroleh lagi di akhirat kelak.

Kenyataan yang sangat penting ini diceritakan dalam al-Qur'an sebagai berikut:
"Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat, akan Kami tambah keuntungan itu baginya, dan barangsiapa menghendaki keuntungan di dunia, Kami akan memberikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia, dan tidak ada baginya bagian sedikit pun di akhirat. (Q.s. asy-Syura: 20).

"Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang, maka Kami segerakan baginya di dunia apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahanam, ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. (Q.s. al-Isra': 18).

Senin, 19 September 2011

JAGALAH UCAPAN, PERBUATAN DAN IBADAHMU

Betapa cepatnya waktu bergulir, siang dan malam silih berganti tanpa kita
sadari, berputar terus tanpa henti merenggut hari-hari dan umur kita. Bulan
demi bulan terus berlalu seakan bagai mimpi, lewat dengan begitu cepat seperti
seorang penyebrang jalan. Bahkan setahun pun tidak kita rasakan, padahal ia
adalah kesempatan untuk persiapan menuju perjalanan yang jauh.., apa yang telah
kita perbuat selama ini, ketaatan apa yang dapat kita persembahkan?Pahala dan
kebaikan apa yang telah kita usahakan?

Setiap Orang akan Mendapati Apa yang Ia Kerjakan Walaupun kita telah lupa terhadap apa yang kita lakukan di masa lalu, baik itu kebaikan maupun keburukan, namun itu semua terjaga dan tercatat dalam bukucatatan amal. Dua malaikat pencatat (kiraman katibin) tak pernah lalaimengawasi gerak-gerik dan ucapan kita.

“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. 50:18)

Tak ada satu kata yang diucapkan oleh anak Adam, kecuali ada pengawas yang selalu menulis dan menghitungnya, tidak ada yang terlewat walau hanya satu kalimat atau satu gerakan.

“Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. 82: 10-12)

Kelak nanti di Hari Kiamat setiap orang akan melihat rekaman dari perbuatannya selama di dunia. Tak satu pun yang dapat mengelak, masing masing diliputi kegundahan dan rasa takut, kecuali orang-orang mukmin, maka mereka mendapatkan curahan rahmat dari Allah disebabkan ketaatan mereka kepada-Nya dan karena mereka selalu mengikuti Rasul-Nya.

“Dan (pada hari itu) kamu lihat tiap-tiap umat berlutut.Tiap-tiap umat dipanggil untuk (melihat) buku catatan amalnya.Pada hari itu, kamu diberi balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan.(Allah berfirman) “Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguh-nya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan”. Adapun orang-orang yang beriman dan mengerja-kan amal yang saleh, maka Rabb mereka memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya (surga).Itulah eberuntungan yang nyata. (QS. 45:28-30)

Pada Hari Kiamat, orang-orang kafir dan ahli maksiat menunduk lesu, menyesali perbuatannya selama di dunia, mereka dalam keadaan hina dan ketakutan seraya menyeru kecelakaan atas diri mereka.

“Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia encatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan abbmu tidak meng-aniaya seorang juapun.” (QS. 18:49)

Bersegeralah Sebelum Ajal Menjemput

Satu hal yang patut untuk kita renungi adalah, apa persiapan kita untuk
menghadapi Hari Akhirat? Apakah kita telah berusaha dengan sungguh-sungguh
untuk melakukan berbagai amal yang dapat menyelamatkan kita dari huru-hara dan
kedahsyatannya? Pernahkah kita menghitung diri atas apa yang telah kita ucapkan
dan kita perbuat? Mari segera kita jawab sebelum datang waktunya bagi kita
untuk mengucapkan,

“Ya Rabbku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh
terhadap yang telah aku tinggalkan.” Kemudian kita dapati jawaban,
“Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkan saja. Dan
di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitan.” (QS. 23:100)

Sungguh para salaf adalah orang-orang yang paling banyak melakukan ibadah,
ketaatan dan amal shalih. Namun ternyata mereka tidak begitu saja mengandalkan
amal perbu-atan mereka, bahkan mereka senan-tiasa merasa khawatir kalau-kalau
apa yang mereka lakukan itu masih belum diterima oleh Allah, sehingga terus
merasa kurang dalam beramal dan tak henti-hentinya memohon ampunan kepada Allah.

Coba kita perhatikan bagaimana Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam
melakukan shalat hingga kedua kaki beliau bengkak, kemudian dalam sehari beliau
beristighfar mohon ampunan kepada Allah lebih dari seratus kali. Apakah beliau
pernah bermaksiat kepada Allah sehingga harus mohon ampun sehari lebih dari
seratus kali? Demi Allah beliau adalah manusia yang paling taat. Itu semua
beliau lakukan tak lain karena muhasa-bah yang tiada henti, muraqabah dan sikap
tawadlu’ yang sempurna kepada Allah, sehingga beliau terus bertaubat dan
beristighfar kepada-Nya.Beliau tidak semata-mata mengandalkan kedudukannya yang
mulia dan tinggi sebagai nabi, bahkan beliau sendiri menyatakan, ”Seseorang
masuk Surga bukan semata-mata karena amalnya.” Para shahabat bertanya, ”Tidak
pula engkau wahai Rasulullah? Beliau menjawab, ”Tidak juga aku, kecuali jika
Allah mencurahkan kepadaku rahmat dan keutamaan-Nya.”

Jika seorang penghulu Nabi saja keadaannya seperti itu, maka bagaimana lagi
dengan kita?Bagaimana mungkin kita merasa bangga dengan amal kita, bahkan kita
sering banyak bergurau, bermain-main, padahal kita tidak tahu ke mana tempat
kembali kita kelak di akhirat?

“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada Hari Kiamat, maka tidaklah
dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat
biji sawi pun pasti kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai
Pembuat perhitungan. (QS. 21:47)

Dalam ayat lain Allah juga berfirman,

“Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan
(dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau
kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan
kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.” (QS. 3:30)


Allah akan memutuskan perkara-perkara di antara hamba-hamba-Nya, menghitung
keseluruhan amal mereka tak satu pun yang ketinggalan dan Dia tidak akan
menzhalimi hamba-Nya. Bahkan Dia memaafkan, mengampuni dan menyayangi, namun
Dia juga menyiksa siapa saja yang dikehendaki dengan kebijaksanaan dan
keadilan-Nya.

Setiap Kita Akan Ditanya

Karena dahsyatnya Hari Pembalasan, maka Allah memerintahkan hamba-Nya untuk
selalu menghitung diri dan mempersiapkan hari depan, sehingga ketika datang
kematian, maka ia tidak dalam keadaan lalai dan terlena. Dia berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap
diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan
bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS. 59:18)

Imam Ibnu Katsir berkata, “Mak-sudnya adalah hitunglah diri kalian sebelum
nanti dihitung, lalu lihatlah apa yang telah kalian siapkan berupa amal shalih
untuk bekal hari kepulanganmu dan menghadap Tuhanmu.”

Seorang mukmin harus selalu menghitung diri karena ia tahu bahwa kelak besok di
hadapan Allah ia akan dihisab. Allah telah memberitahukan kepada kita, bahwa
kita semua nanti akan ditanya tentang nikmat yang telah kita terima di dunia,

“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu
megah-megahkan di dunia itu ).” (QS. 102:8)

Kita semua akan ditanya tentang nikmat itu, makan dan minum yang kita santap,
harta benda, rumah, kendaraan dan pakaian, untuk apa semua itu dan bagaimana
kita memperolehnya. Nabi n telah bersabda,

“Tak akan bergeser kaki seorang hamba, sehingga ia ditanya tentang empat hal;
Tentang umurnya dihabiskan untuk apa, tentang ilmunya apa yang ia amal-kan
dengan ilmu itu, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan kemana ia
belanjakan, dan tentang badannya untuk apa ia gunakan”

Mari kita semua menjawabnya, tentunya dengan jawaban yang benar dan jujur,
sebab perkara ini bukan perkara sepele dan main-main.Ini butuh keseriusan
karena berkaitan dengan ujung nasib kita, surga atau neraka

Salah seorang salaf berkata,” Andaikan Allah mengancamku, bahwa jika aku
bermaksiat kepada-Nya, maka Dia akan memenjarakanku di dalam sel yang sempit,
maka itu sepantasnya membuatku untuk tidak malas dalam beribadah, maka
bagaimana lagi jika ia telah mengancamku dengan siksa api neraka, jika aku
bermaksiat kepada-Nya?

Cara Muhasabah Diri

Imam Ibnul Qayyim berkata ten-tang cara muhasabah, “Pertama-tama hendaklah
menghitung diri dalam masalah kewajiban, jika ingat masih ada kekurangan, maka
hedaknya segera disusul dengan mengqadla atau memperbaikinya.

Kemudian setelah itu menghitung diri dalam masalah larangan, jika mengetahui
ada larangan yang telah dikerjakan atau diterjang, maka hendak-nya segera
menyusulnya dengan bertaubat dan beristighfar serta banyak melakukan
kebajikan-kebajikan yang akan dapat menghapusnya.

Lalu selanjutnya muhasabah diri dalam hal kelalaian, jika selama ini telah
sering lalai akan tujuan dari penciptaan manusia di dunia, maka harus segera
mengingatnya serta menghadapkan diri kepada Allah.

Kemudian menghitung diri dalam hal ucapan, langkah kedua kaki, aktivi-tas kedua
tangan, pendengaran telinga, penglihatan: Apa yang dikehendaki dengan semua
itu, untuk siapa serta apa tujuan melakukannya?Dan harus diketahui, bahwa
seluruh ucapan dan perbuatan hendaknya mempunyai dua sisi pertimbangan yang
selalu diingat. Yang pertama pertimbangan untuk siapa berbuat dan ke dua
bagaimana berbuat. Yang pertama adalah perta-nyaan tentang keikhlasan dan yang
ke dua pertanyaan tentang mutaba’ah (mengikuti tata cara yang diajarkan Nabi ).

Nasehat dan Teladan

Berkata al-Hasan, ”Semoga Allah merahmati seorang hamba yang ketika
menginginkan sesuatu, ia merenung terlebih dahulu, kalau itu untuk Allah, maka
ia terus dan kalau untuk selain-nya maka ia urungkan.

Berkata Ibrahim at-Taimiy, “Aku mengumpamakan diriku berada di Surga makan
buah-buahnya dan minum dari air sungainya, lalu bercanda dengan para bidadari.
Lalu aku mengumpama-kan diriku berada di neraka, memakan buah zakum, meminum
nanah, dirantai dan dibelenggu. Lalu aku katakan pada diriku, “Hai jiwa, apa
yang kau mau sekarang? Jiwa itu menjawab, “Aku ingin kembali ke dunia dan
melakukan amal shalih”. Aku pun berkata, “Kini angan-anganmu (untuk kembali ke
dunia) tercapai , maka beramallah!”

Ibnul Jauzi berkata, “Sepantasnya orang yang tidak tahu kapan ia akan mati
untuk selalu mempersiapkan diri, janganlah ia tertipu dengan usia muda dan
kesehatannya.”

Berapa banyak pemuda yang mati karena sakit yang mendadak, berapa banyak yang
mati karena kecelakaan, berapa banyak yang mati disebabkan kecanduan dan berapa
banyak pula yang meninggal karena perkelahian dan tawuran? Siapa yang tahu umur
seseorang?

Sumber: Kutaib “waqafat ma’a nihayatil ‘aam” Khalid Abu Shalih.


Pembaca yang dimuliakan Allah Ta'ala, Menyampaikan Kebenaran adalah
kewajiban setiap Muslim. Kesempatan kita saat ini untuk berdakwah adalah dengan
menyampaikan buletin ini kepada saudara-saudara kita yang belum mengetahuinya.

Semoga Allah Ta'ala Membalas 'Amal Ibadah Kita.

Wassalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakatuh.

Senin, 12 September 2011

BAROKAH SHALAT KHUSYU'

Hikam :
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman yaitu orang-orang yang khusyu dalam sholatnya dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tiada berguna (Al-Quran: Surat Al-Mu`minun )

Rasulullah SAW bersabda : Ilmu yang pertama kali di angkat dari muka bumi ialah kekhusyuan. (HR. At-Tabrani )

Nabi Muhammad SAW dalam sholatnya benar-benar dijadikan keindahan dan terjadi komunikasi yang penuh kerinduan dan keakraban dengan Allah. Ruku, sujudnya panjang, terutama ketika sholat sendiri dimalam hari, terkadang sampai kakinya bengkak tapi bukannya berlebihan, karena ingin memberikan yang terbaik sebagai rasa syukur terhadap Tuhannya. Sholatnya tepat pada waktunya dan yang paling penting, sholatnya itu teraflikasi dalam kehidupan sehari-hari.

Ciri-ciri orang-orang yang sholatnya khusyu:

1. Sangat menjaga waktunya, dia terpelihara dari perbuatan dan perkataan sia-sia apa lagi maksiat. Jadi orang-orang yang menyia-nyiakan waktu suka berbuat maksiat berarti sholatnya belum berkualitas atau belum khusyu.
2. Niatnya ikhlas, jarang kecewa terhadap pujian atau penghargaan, dipuji atau tidak dipuji, dicaci atau tidak dicaci sama saja.
3. Cinta kebersihan karena sebelum sholat, orang harus wudhu terlebih dahulu untuk mensucikan diri dari kotoran atau hadast.
4. Tertib dan disiplin, karena sholat sudah diatur waktunya.
5. Selalu tenang dan tuma`ninah, tuma`ninah merupakan kombinasi antara tenang dan konsentrasi.
6. Tawadhu dan rendah hati, tawadhu merupakan akhlaknya
Rasulullah.
7. Tercegah dari perbuatan keji dan munkar, orang lain aman dari keburukan dan kejelekannya.

Orang yang sholatnya khusyu dan suka beramal baik tapi masih suka melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah, mudah-mudahan orang tersebut tidak hanya ritualnya saja yang dikerjakan tetapi ilmunya bertambah sehingga membangkitkan kesadaran dalam dirinya.

Jika kita merasa sholat kita sudah khusyu dan kita ingin menjaga dari keriaan yaitu dengan menambah pemahaman dan mengerti bacaan yang ada didalam sholat dan dalam beribadah jangan terhalang karena takut ria.

Inti dalam sholat yang khusyu yaitu akhlak menjadi baik, sebagaimana Rosulullah menerima perintah sholat dari Allah, agar menjadikan akhlak yang baik. Itulah ciri ibadah yang disukai Allah.

Kamis, 08 September 2011

NIFAAQ/HYPOCRISY DAN IMAN DLM HATI

Assalamualaikum wa rohmatullohi wa barokatuh

Berbicara masalah hati , hati itu terbagi atas 4 jenis.

[1] Hati yg tersarung/terbungkus (aghlaf), dan ini adalah hati orang kafir.
[2] Hati yg berlapis2 (musfah), dan ini adalah hati orang munaafiq.
[3] Hati yg bersih terbuka lagi sempurna (ajrad), di dlmnya ada siraaj/light/cahaya yg terus bersinar, dan ini adalah hati orang mu'min.
[4] Hati yg di dlmnya ada nifaaq/hypocrisy dan ada iman.

Dan perumpamaan iman itu adalah seperti sepohon kayu yg disegari dan disuburi oleh air yg baik. Sedangkan nifaaq/hypocrisy pula diumpamakan seperti kudis/bisul yg disuburi dengan nanah dan darah.
Maka yg mana satu antara kedua ini (yaitu antara nifaaq dan iman) menang, maka yg menang itulah akan menguasai hati seseorang.

Demikianlah keterangan daripada Huzaifah r.a.

Termasuk dalam kategori manakah hati kita?

Hati kita berada dalam kategori 4, di mana dlm kategori ini ada unsur2 nifaaq dan ada unsur2 iman. Kalau kekuatan nifaaq yg menang dlm hati kita, tentulah hati kita dan segala keputusan dan tindak tanduk kita berbau nifaaq !! Begitulah sebaliknya, kalau kekuatan iman yg menang, sudah tentulah citarasa hati kita dan segala keputusan dan tindak tanduk kita akan berbau iman !!

Menurut pandangan para ulama, iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang (yaziid wa yanqus) hal ini mengikuti usaha/kegiatan yg dibuat oleh seseorang. Dan yg lebih bahaya lagi ialah iman itu juga bisa masuk dan bisa keluar, seperti diriwayatkan tentang seseorang yg paginya beriman petangnya pula kafir dan sebaliknya. Jadi marilah kita sama2 dan sentiasa memelihara iman kita, menyuburkannya setiap detik dan sa'at .

Caranya bagaimana ?

Nifaaq/hypocrisy akan subur bertakhta di dlm hati kita bila ada sekurang2nya 2 perkara : hubbulmaal (cinta akan maal/harta) dan hubbusysyaraf ( cinta akan syaraf/honor/eminence/ pangkat/jawatan/gelaran/kemuliaan duniawi).

Ini telah dijelaskan oleh Rasuulullaah saw di dlm sebuah hadith yg mafhumnya..........

Hubbulmaal dan hubbusysyaraf itu menumbuh segarkan akan nifaaq/hypocrisy di dlm hati seseorang sebagaimana air menumbuh segarkan akan sayur -sayuran (lihat Hidaayatussaalikiin,m/s 211). Jadi penyebab dan penyubur nifaaq ini perlu selalu dikikis dari hati kita supaya ia dapat dikalahkan oleh kekuatan iman.


Wassalaamu'alaikum wrb.

Bersahajalah sebagai manusia

Kecenderungan manusia berperilaku boros terhadap harta memang sudah ada di dalam dirinya. Ditambah lagi perilaku boros adalah salah satu tipu daya setan terkutuk yang membuat harta yang kita miliki tidak efektif mengangkat derajat kita. Harta yang dimiliki justru efektif menjerumuskan, membelenggu, dan menjebak kita dalam kubangan tipu daya harta karena kita salah dalam menyikapinya.

Hal ini dapat kita perhatikan dalam hidup keseharian kita. Orang yang punya harta, kecenderungan untuk menjadi pecinta harta cenderung lebih besar. Makin bagus, makin mahal, makin senang, maka makin cintalah ia kepada harta yang dimilikinya. Lebih dari itu, maka ingin pulalah ia untuk memamerkannya. Terkadang apa saja ingin dipamer-pamerkan. Ada yang pamer kendaraan, pamer rumah, pamer mebel, pamer pakaian, dan lain-lain. Sifat ini muncul karena salah satunya kita ini ingin tampil lebih wah, lebih bermerek, atau lebih keren dari orang lain. Padahal, makin bermerek barang yang dimiliki justru akan menyiksa diri.

Suatu pengalaman ketika seseorang memberi sebuah ballpoint. Dari tampangnya ballpoint ini saya pikir sangat bagus, mengkilat, dan ketika dipakai untuk menulis pun enak. Tapi tiba-tiba ballpoint ini menjadi barang yang menyengsarakan ketika ada yang memberi tahu bahwa ballpoint yang mereknya "MP" itu adalah sebuah merek terkenal untuk ukuran sebuah benda bernama ballpoint. Mulanya tidak mengerti sama sekali. Tadinya saya kira harganya paling cuma ribuan rupiah saja. Nah, gara-gara tahu itu ballpoint mahal, sikap pun jadi berubah. Tiba-tiba jadi takut hilang, ketika dibawa takut jatuh, ketika dipinjam takut cepat habis tintanya karena tintanya pun mahal, mau disimpan takut jadi mubazir, mau dikasihkan ke orang lain sayang, ditambah lagi saat dipakai pun malu, mungkin nanti ada yang komentar "Wah, Aa ballpoint-nya ballpoint mahal!". Begitulah, nasib punya barang bermerek, tersiksa!

Sebaliknya, kalau kita terbiasa dengan barang yang biasa-biasa, dapat dipastikan hidup pun akan lebih ringan. Karenanya, hati-hatilah saudaraku. Apalagi dalam kondisi ekonomi bangsa kita yang sedang terpuruk seperti saat ini. Kita harus benar-benar mengendalikan penuh keinginan-keinginan kita jikalau ingin membeli suatu barang. Ingat, yang paling penting adalah bertanya pada diri apa yang paling bermamfaat dari barang yang kita beli tersebut. Buat pula skala prioritas, misalnya, haruskah membeli sepatu seharga 1 juta rupiah padahal keperluan kita hanya sebentuk sepatu olahraga. Apalagi dihadapan tersedia aneka pilihan harga, mulai dari yang 700 ribu, 400 ribu, 200 ribu, sampai yang 50 ribu rupiah. Mereknya pun beragam, tinggal dipilih mana kira-kira yang paling sesuai. Nah, kalau kita ada dalam posisi seperti ini, maka carilah sepatu yang paling tidak membuat kita sombong ketika memakainya, yang paling tidak menyikasa diri dalam merawatnya, dan yang paling bisa bermamfaat sesuai tujuan utama dari pembelian sepatu tersebut. Hati-hatilah, sebab yang biasa kita beli adalah mereknya, bukan awetnya, karena kalau terlalu awet pun akan bosan pula memakainya. Jangan pula tergesa-gesa, dan ketahuilah bahwa pemboros-pemboros itu adalah saudaranya setan.

Dalam hal ini Allah SWT berfirman, "Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghamburkan hartamu secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu saudaranya setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhan-Nya" (QS. Al Israa [17] : 26-27). Dalam ayat lain Allah SWT berfirman, "Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula mereka kikir. Dan adalah pembelanjaan itu ditengah-tengah yang demikian itu". (QS. Al Furqan [25] : 67)

Jelaslah kiranya bahwa sikap boros lebih dekat kepada perilaku setan, naudzubillaah. Karenanya, budaya bersahajalah salah satu budaya yang harus kita tanamkan kuat-kuat dalam diri. Memilih hidup dengan budaya bersahaja bukan berarti tidak boleh membeli barang-barang yang bagus, mahal, dan bermerek. Silahkan saja! Tapi ternyata kalau kita berlaku boros, sama sekali tidak akan menjadi amal kebaikan bagi kita. Saya kira hikmah dari krisis ekonomi yang menimpa bangsa kita, salah satunya kita harus benar-benar mengendalikan keinginan kita. Tidak setiap keinginan harus dipenuhi. Karena jikalau kita ingin membeli sesuatu karena ingin dan senang, ketahuilah bahwa keinginan itu cepat berubah. Kalau kita membeli sesuatu karena suka, maka ketika melihat yang lebih bagus, akan hilanglah selera kita pada barang yang awalnya lebih bagus tadi. Belilah sesuatu hanya karena perlu dan mampu saja. Sekali lagi, hanya karena perlu! Perlukah saya beli barang ini? Matikah saya kalau tidak ada barang ini? Kalau tidak ada barang ini saya hancur tidak? Itulah yang harus selalu kita tanyakan ketika akan membeli suatu barang. Kalau saja kita masih bisa bertahan dengan barang lain yang lebih bersahaja, maka lebih bijak jika kita tidak melakukan pembelian.

Misalnya, ketika tersirat ingin membeli motor baru, tanyakan; perlukah kita membeli motor baru? Sudah wajibkah kita membelinya? Nah, ketika alasan pertanyaan tadi sudah logis dan dapat diterima akal sehat, maka kalau pun jadi membeli pilihlah yang skalanya paling irit, paling hemat, dan paling mudah perawatannya. Jangan berpikir dulu tentang keren atau mereknya. Cobalah renungkan; mending keren tapi menderita atau irit tapi lancar? Tahanlah keinginan untuk berlaku boros dengan sekuat tenaga, yakinlah makin kita bisa mengendalikan keinginan kita, Insya Allah kita akan makin terpelihara dari sikap boros. Sebaliknya, jika tidak dapat kita kendalikan, maka pastilah kita akan disiksa oleh barang-barang kita sendiri. Kita akan disiksa oleh kendaraan kita dan disiksa oleh harta kita yang kita miliki. Rugi, sangat rugi orang yang memperturutkan hidupnya karena sesuatu yang dianggap keren atau bermerek. Apalagi, keren menurut kita belum tentu keren menurut orang lain, bahkan sebaliknya bisa jadi malah dicurigai. Karena ada pula orang yang ketika memakai sesuatu yang bermerek, justru disangka barang temuan.

Seperti kisah santri di sebuah pesantren. Saat ada santri yang memakai sepatu yang sangat bagus dengan merek terkenal, justru disangka sepatu jamaah yang ketika berkunjung ke pesantren tersebut tertinggal di mesjid. Lain waktu, ada juga yang memakai arloji sangat bagus dengan merek terkenal buatan dari negeri Swiss sana, tapi orang lain justru malah berprasangka kalau arloji itu barang temuan dari tempat wudhu. Begitulah, bagi orang yang maqam-nya murah meriah, ketika memakai barang mahal justru malah dicurigai.

Karenanya, biasakanlah untuk senantiasa bersahaja dalam setiap yang kita lakukan. Dan mudah-mudahan dalam kondisi ekonomi sulit seperti ini Allah mengaruniakan kepada kita kemampuan untuk menjadi orang yang terpelihara dari perbuatan sia-sia dan pemborosan.

Selasa, 06 September 2011

Menjaga Lisan dari Mengutuk atau Melaknat

Kata laknat yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia memiliki dua makna dalam bahasa Arab :

Pertama : Bermakna mencerca.
Kedua : Bermakna pengusiran dan penjauhan dari rahmat Allah.


Ucapan laknat ini mungkin terlalu sering kita dengar dari orang-orang di lingkungan kita dan sepertinya saling melaknat merupakan perkara yang biasa bagi sementara orang, padahal melaknat seorang Mukmin termasuk dosa besar. Tsabit bin Adl Dlahhak radhiallahu ‘anhu berkata :

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : ‘Siapa yang melaknat seorang Mukmin maka ia seperti membunuhnya.’ ” (HR. Bukhari dalam Shahihnya 10/464)


Ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : ((“Fahuwa Kaqatlihi”/Maka ia seperti membunuhnya)) dijelaskan oleh Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah dalam kitabnya Fathul Bari : “Karena jika ia melaknat seseorang maka seakan-akan ia mendoakan kejelekan bagi orang tersebut dengan kebinasaan.”

Sebagian wanita begitu mudah melaknat orang yang ia benci bahkan orang yang sedang berpekara dengannya, sama saja apakah itu anaknya, suaminya, hewan atau selainnya.
Sangat tidak pantas bila ada seseorang yang mengaku dirinya Mukmin namun lisannya terlalu mudah untuk melaknat. Sebenarnya perangai jelek ini bukanlah milik seorang Mukmin, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Bukanlah seorang Mukmin itu seorang yang suka mencela, tidak pula seorang yang suka melaknat, bukan seorang yang keji dan kotor ucapannya.” (HR. Bukhari dalam Kitabnya Al Adabul Mufrad halaman 116 dari hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Hadits ini disebutkan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i hafidhahullah dalam Kitabnya Ash Shahih Al Musnad 2/24)

Dan melaknat itu bukan pula sifatnya orang-orang yang jujur dalam keimanannya (shiddiq), karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Tidak pantas bagi seorang shiddiq untuk menjadi seorang yang suka melaknat.” (HR. Muslim no. 2597)

Pada hari kiamat nanti, orang yang suka melaknat tidak akan dimasukkan dalam barisan para saksi yang mempersaksikan bahwa Rasul mereka telah menyampaikan risalah dan juga ia tidak dapat memberi syafaat di sisi Allah guna memintakan ampunan bagi seorang hamba.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Orang yang suka melaknat itu bukanlah orang yang dapat memberi syafaat dan tidak pula menjadi saksi pada hari kiamat.” (HR. Muslim dalam Shahihnya no. 2598 dari Abi Darda radhiallahu ‘anhu)

Perangai yang buruk ini sangat besar bahayanya bagi pelakunya sendiri. Bila ia melaknat seseorang, sementara orang yang dilaknat itu tidak pantas untuk dilaknat maka laknat itu kembali kepadanya sebagai orang yang mengucapkan.

Imam Abu Daud rahimahullah meriwayatkan dari hadits Abu Darda radhiallahu ‘anhu bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Apabila seorang hamba melaknat sesuatu maka laknat tersebut naik ke langit, lalu tertutuplah pintu-pintu langit. Kemudian laknat itu turun ke bumi lalu ia mengambil ke kanan dan ke kiri. Apabila ia tidak mendapatkan kelapangan, maka ia kembali kepada orang yang dilaknat jika memang berhak mendapatkan laknat dan jika tidak ia kembali kepada orang yang mengucapkannya.”

Kata Al Hafidh Ibnu Hajar hafidhahullah tentang hadits ini : “Sanadnya jayyid (bagus). Hadits ini memiliki syahid dari hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu dengan sanad yang hasan. Juga memiliki syahid lain yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi dari hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma. Para perawinya adalah orang-orang kepercayaan (tsiqah), akan tetapi haditsnya mursal.”

Ada beberapa hal yang dikecualikan dalam larangan melaknat ini yakni kita boleh melaknat para pelaku maksiat dari kalangan Muslimin namun tidak secara ta’yin (menunjuk langsung dengan menyebut nama atau pelakunya). Tetapi laknat itu ditujukan secara umum, misal kita katakan : “Semoga Allah melaknat para pembegal jalanan itu… .”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sendiri telah melaknat wanita yang menyambung rambut dan wanita yang minta disambungkan rambutnya.

Beliau juga melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki dan masih banyak lagi. Berikut ini kami sebutkan beberapa haditsnya : “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melaknat wanita yang menyambung rambutnya (dengan rambut palsu/konde) dan wanita yang minta disambungkan rambutnya.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)

Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengabarkan :
“Allah melaknat wanita yang membuat tato, wanita yang minta dibuatkan tato, wanita yang mencabut alisnya, wanita yang minta dicabutkan alisnya, dan melaknat wanita yang mengikir giginya untuk tujuan memperindahnya, wanita yang merubah ciptaan Allah Azza wa Jalla.” (HR. Bukhari dan Muslim dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu)


“Allah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya)


Dibolehkan juga melaknat orang kafir yang sudah meninggal dengan menyebut namanya untuk menerangkan keadaannya kepada manusia dan untuk maslahat syar’iyah. Adapun jika tidak ada maslahat syar’iyah maka tidak boleh karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Janganlah kalian mencaci orang-orang yang telah meninggal karena mereka telah sampai/menemui (balasan dari) apa yang dulunya mereka perbuat.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya dari hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)

Setelah kita mengetahui buruknya perangai ini dan ancaman serta bahayanya yang bakal diterima oleh pengucapnya, maka hendaklah kita bertakwa kepada Allah Ta’ala. Janganlah kita membiasakan lisan kita untuk melaknat karena kebencian dan ketidaksenangan pada seseorang. Kita bertakwa kepada Allah Ta’ala dengan menjaga dan membersihkan lisan kita dari ucapan yang tidak pantas dan kita basahi selalu dengan kalimat thayyibah. Wallahu a’lam bis shawwab.

Kecupan Kasih Sayang

Banyak hal yang bisa dilakukan orang tua untuk mengungkapkan kasih sayangnya kepada sang anak. Islam sebagai agama nan sempurna melalui kisah Rasul-Nya banyak memberikan teladan dalam hal ini.

Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan kasih sayang di dalam qalbu ayah dan bunda, sehingga senantiasa menghiasi segala apa yang ada antara ayah bunda dengan buah cinta mereka. Gambaran apa pun yang ada di antara ayah-ibu dengan anak mereka, tak lain melambangkan kasih sayang mereka. Sekeras apa pun tabiat sang ayah atau bunda, di sana tersimpan kecintaan yang besar terhadap putra-putrinya.

Besarnya kasih sayang ini terlukis dari ungkapan lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika melihat seorang ibu di antara para tawanan. Kisah ini disampaikan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu:

قَدِمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلىَّ اللهَ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبِيٌّ ، فَإِذَا امْرَأَةٌ مِنَ السَبِيِّ تّحْلُبُ ثَدَيْهَا تَسْقَى إِذَا وَجَدَتْ صَبِيًّا فِي السَبِيِّ أَخَذَتْهُ فَأَلْصَقَتْهُ بِبَطْنِهَا وَأَرْضَعَتْهُ . فَقَالَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَتَرَوْنَ هَذِهِ طَارِحَةٌ وَلَدَهَا فِي النَّارِ؟ قُلْنَا : لاَ ، وَهِيَ تَقْدِرُ عَلَى أَنْ لاَ تَطْرَحُهُ . فَقَالَ : لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا.

“Datang para tawanan di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ternyata di antara para tawanan ada seorang wanita yang buah dadanya penuh dengan air susu. Setiap dia dapati anak kecil di antara tawanan, diambilnya, didekap di perutnya dan disusuinya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apakah kalian menganggap wanita ini akan melemparkan anaknya ke dalam api?” Kami pun menjawab, “Tidak. Bahkan dia tak akan kuasa untuk melemparkan anaknya ke dalam api.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh Allah lebih penyayang daripada wanita ini terhadap anaknya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5999)


Banyak hal yang bisa menjadi ungkapan kasih sayang. Pun yang demikian tak ditinggalkan oleh syariat, hingga didapati banyak contoh dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bagaimana beliau mengungkapkan kasih sayang kepada anak-anak.
Satu contoh yang beliau berikan adalah mencium anak-anak. Bahkan beliau mencela orang yang tidak pernah mencium anak-anaknya.

Kisah-kisah tentang ini bukan hanya satu dua. Di antaranya dituturkan oleh shahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

قَبَّلَ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَسَنَ بْنَ عَلِيِّ وَعِنْدَهُ الأَقْرَعُ بْنُ حَابِسِ التَّمِيْمِي جَالِسًا، فَقَالَ الأَقْرَعُ : إِنَّ لِيْ عَشْرَةً مِنَ الوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ مِنْهُمْ أَحَدًا . فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ: مَنْ لاَ يَرْحَمْ لاَ يُرْحَمْ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mencium Al-Hasan bin ‘Ali, sementara Al-Aqra’ bin Habis At-Tamimi sedang duduk di sisi beliau. Maka Al-Aqra’ berkata, “Aku memiliki 10 anak, namun tidak ada satu pun dari mereka yang kucium.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memandangnya, lalu bersabda, “Siapa yang tidak menyayangi, maka dia tidak akan disayangi.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5997 dan Muslim no. 2318)


Para ulama menjelaskan bahwa ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini umum, mencakup kasih sayang terhadap anak-anak maupun selain mereka. (Syarh Shahih Muslim, 15/77)

Begitu pula yang diceritakan oleh istri beliau, ‘Aisyah bintu Abu Bakr radhiallahu ‘anhuma:

جَاءَ أَعْرَبِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : تُقَبِّلُوْنَ الصِّبْيَانَ فَمَا نُقَبِّلُهُمْ ، فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: أَوَ أَمْلِكُ لَكَ أَنْ نَزَعَ اللهُ مِنْ قَلْبِكَ الرَّحْمَةَ

“Seorang Arab gunung datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian mengatakan, “Kalian biasa mencium anak-anak, sedangkan kami tidak biasa mencium mereka.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Sungguh aku tidak memiliki kuasa apa pun atasmu jika Allah mencabut rasa kasih sayang dari qalbumu.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5998 dan Muslim no. 2317)

Itulah penekanan beliau, sementara gambaran kasih sayang kepada anak yang lebih jelas dan lebih indah dari itu semua didapati dalam diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau menyambut putrinya, Fathimah bintu Muhammad radhiallahu ‘anha.

Peristiwa ini dilukiskan oleh Ummul Mukminin ‘Aisyah bintu Abu Bakr radhiallahu ‘anhuma:

مَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ كَانَ أَشْبَهَ بِالنَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلاَمًا وَلاَ حَدِيْثًا وَلاَ جِلْسَةً مِنْ فَاطِمَةَ . قَالَتْ : وَكَانَ النَّبْيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَآهَا قَدْ أَقْبَلَتْ رَحَّبَ بِهَا ، ثُمَّ قَامَ إِلَيْهَا فَقَبَّلَهَا، ثُمَّ أَخَذَ بِيَدِهَا فَجَاءَ بِهَا حَتَّى يُجْلِسَهَا فِي مَكَانِهِ، وَكَانَ إِذَا أَتَاهَا النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحَّبَتْ بِهِ ، ثُمَّ قَامَتْ إِلَيْهِ فَأَخَذَتْ بِيَدِهِ فَقَبَّلَتْهُ . وَأَنَّهَا دَخَلَتْ عَلَى النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًَّمَ فِيْ مَرَضِهِ الَّذِي قُبِضَ فِيْهِ، فَرَحَّبَ وَقَبَّلَهَا، وَأَسَرَّ إِلَيْهَا، فَبَكَتْ، ثُمَّ أَسَرَّ إِلَيْهَا، فَضَحِكَتْ، فَقُلْتُ لِلنِّسَاءِ : إِنْ كُنْتُ لأَرَى أَنَّ لِهَذِهِ الْمَرْأَةِ فَضْلاً عَلَى النِّسَاءِ، فَإِذَا هِيَ مِنَ النِّسَاءِ ! بَيْنَمَا هِيَ تَبْكِي إِذَا هِيَ تَضْحَكُ ! فَسَأَلْتُهَا : مَا قَالَ لَكَ ؟ قَالَتْ : إِنِّي إِذًا لَبَذِرَةٌ ! فَلَمَّا قُبِضَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ : أَسَرَّ إِلَيَّ فَقَالَ : (( إِنِّي مَيِّتٌ )) فَبَكَيْتُ ، ثُمَّ أَسَرَّ إِلَيَّ فَقَالَ : (( إِنَّكِ أَوَّلَ أَهْلِي بِي لُحُوْقًا )) فَسَرَرْتُ بِذَلِكَ فَأَعْجَبَنِي .

“Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih mirip dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam bicara maupun duduk daripada Fathimah.” ‘Aisyah berkata lagi, “Biasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila melihat Fathimah datang, beliau mengucapkan selamat datang padanya, lalu berdiri menyambutnya dan menciumnya, kemudian beliau menggamit tangannya dan membimbingnya hingga beliau dudukkan Fathimah di tempat duduk beliau. Demikian pula jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang kepada Fathimah, maka Fathimah mengucapkan selamat datang pada beliau, kemudian berdiri menyambutnya, menggamit tangannya, lalu mencium beliau. Suatu saat, Fathimah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau menderita sakit menjelang wafat. Beliau pun mengucapkan selamat datang dan menciumnya, lalu berbisik-bisik kepadanya hingga Fathimah menangis. Kemudian beliau berbisik lagi padanya hingga Fathimah tertawa. Maka aku berkata pada para istri beliau, ‘Aku berpandangan bahwa wanita ini memiliki keutamaan dibandingkan seluruh wanita, dan memang dia dari kalangan wanita. Dia tengah menangis, kemudian tiba-tiba tertawa.’ Lalu aku bertanya kepadanya, ‘Apa yang beliau katakan padamu saat itu?’ Fathimah menjawab, ‘Kalau aku mengatakannya, berarti aku menyebarkan rahasia.’ Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat, Fathimah berkata, ‘Waktu itu beliau membisikkan padaku: Sesungguhnya aku hendak meninggal. Maka aku pun menangis. Kemudian beliau membisikkan lagi: Sesungguhnya engkau adalah orang pertama yang menyusulku di antara keluargaku. Maka hal itu menggembirakanku’.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no.725)

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, seorang shahabat yang senantiasa menyertai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam melayaninya pun turut mengungkapkan bagaimana rasa sayang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada putranya yang lahir dari rahim Mariyah Al-Qibthiyyah radhiallahu ‘anha:

مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَرْحَمَ بِالعِيَالِ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صِلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ : كَانَ إِبْرَاهِيْمُ مُسْتَرْضِعًا لَهُ فِي عَوَالِي الْمَدِيْنَةِ . فَكَانَ يَنْطَلِقُ وَنَحْنُ مَعَهُ . فَيَدْخُلُ البَيْتَ وَإِنَّهُ لَيُدَّخَنُ . وَكَانَ ظِئْرُهُ قَيْنًا . فَيَأْخُذُهُ فَيُقَبِّلُهُ ثُمَّ يَرْجِعُ

“Aku tak pernah melihat seseorang yang lebih besar kasih sayangnya kepada keluarganya dibandingkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Anas berkata lagi, “Waktu itu, Ibrahim sedang dalam penyusuan di suatu daerah dekat Madinah. Maka beliau berangkat untuk menjenguknya, sementara kami menyertai beliau. Kemudian beliau masuk rumah yang saat itu tengah berasap hitam, karena ayah susuan Ibrahim adalah seorang pandai besi. Kemudian beliau merengkuh Ibrahim dan menciumnya, lalu beliau kembali.” (Shahih, HR. Muslim no. 2316)

Kisah ini menunjukkan kemuliaan akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta kasih sayangnya terhadap keluarga dan orang-orang yang lemah. Juga menjelaskan keutamaan kasih sayang terhadap keluarga dan anak-anak, serta mencium mereka. Di dalamnya juga didapati kebolehan menyusukan anak pada orang lain. Demikian dijelaskan oleh Al-Imam An-Nawawi. (Syarh Shahih Muslim, 15/76)

Kalaulah dibuka perjalanan para pendahulu yang shalih dari kalangan shahabat radhiallahu ‘anhum, hal ini pun ditemukan di kalangan mereka. Bahkan dilakukan oleh shahabat yang paling mulia, Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu. Ketika Abu Bakr radhiallahu ‘anhu tiba di Madinah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hijrah, dia mendapati putrinya, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha sakit panas. Al-Barra’ bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu yang menyertai Abu Bakr saat menemui putrinya mengatakan:

فَدَخَلْتُ مَعَ أَبِيْ بَكْرٍ عَلَى أَهْلِهِ، فَإِذَا عَائِشَةُ ابْنَتُهُ مُضْطَجِعَةٌ قَدْ أَصَابَتْهَا حُمَّى، فَرَأَيْتُ أَبَاهَا يُقَبِّلُ خَدَّهَا وَقَاَل : كَيْفَ أَنْتِ يَا بُنَيَّة ؟

“Kemudian aku masuk bersama Abu Bakr menemui keluarganya. Ternyata ‘Aisyah putrinya sedang berbaring, terserang penyakit panas. Maka aku melihat ayah ‘Aisyah mencium pipinya dan berkata, ‘Bagaimana keadaanmu, wahai putriku?‘.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3918)

Inilah kasih sayang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seorang ayah yang paling mulia di antara seluruh manusia. Tak segan-segan beliau mendekap dan mencium putra-putri dan cucu-cucunya. Begitu pun yang beliau ajarkan kepada seluruh manusia. Keberatan apa lagikah yang menggayuti seseorang yang mengaku mengikuti beliau untuk mengungkapkan kasih sayang di hatinya dengan pelukan dan ciuman kepada anak-anaknya?
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab