Senin, 12 Desember 2011

Membersihkan diri dan cara membelanjakan harta yang haram

Ada tiga cara untuk membersihkan diri dengan membelanjakan harta yang haram yaitu:

(1) Jika harta itu ada pemiliknya yang tertentu, maka hendaklah ia diserahkan kepadanya. Jika ia sudah mati hendaklah diserahkan kepada ali warisnya. Jika ia tidak ada di dalam negeri (ghaib), maka hendaklah ditunggu kembalinya, ataupun dikirimkan harta itu kepadanya.

Begitu pula jika harta itu bertambah atau ada hasilnya, maka hendaklah ia menyimpan segala faedah-faedah harta itu, sehingga pemiliknya kembali semula ke negeri itu, di mana harta itu harus diserahkan kepadanya.

(2) Jika harta itu tidak diketahui pemiliknya yang tertentu, dan setelah dicari tiada ditemui pula, dan tiada juga diketahui sama ada ia telah mati atau telah meninggalkan waris-waris yang tertentu.

Dalam hal ini tiada boleh dikembalikan kepada pemiliknya, malah ditahan harta itu sehingga ternyata perkaranya. Atau mungkin juga tiada boleh dikembalikan disebabkan orang yang mendakwa menjadi pemiliknya amat banyak bilangannya, sehingga sukar hendak ditentukan yang mana satu.

Dalam misal-misal yang tersebut, sewajarnyalah harta itu disedekahkan, sehingga tiada terbiar begitu saja, dan lenyap manfaatnya kepada pemilik mahupun orang lain. Sekiranya ia sendiri seorang fakir yang berhak menerima sedekah maka boleh diambil dari harta itu sekadarnya sebagai sedekah untuk dibelanjakan atas dirinya dan atas tanggungannya.

(3) Jika harta itu berasal dari rampasan perang, ataupun daripada milik badan-badan yang menguruskan kepentingan kaum Muslimin, maka hendaklah ia dibelanjakan kepada maslahat umum, seperti membina jambatan-jambatan, masjid-masjid, sekolah-sekolah agama dan jalan-jalan yang menyampaikan orang ramai ke Makkah al-Mukarramah, ataupun yang seumpamanya, yang mana manfaatnya dapat dirasakan oleh seumum kaum Muslimin bersama.

Kamis, 01 Desember 2011

ANAK ADALAH AMANAH

Menurut Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah dalam Ijtima’ Al-Juyusy Al-Islamiyah, nikmat terbagi dua; nikmat yang bersifat muthlak dan nikmat yang bersifat muqayyad (mengikat). Nikmat yang bersifat muthlak adalah nikmat yang akan mengantarkan seseorang pada kebahagiaan abadi, seperti kebahagiaan seseorang dalam berislam dan mengikuti sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.

Allah Ta’ala berfirman;

“Dan barang siapa yang menta’ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman sebaik-baiknya.” (An-Nisa:69).

Adapun nikmat kedua yang bersifat terikat/terbatas adalah nikmat yang digambarkan dalam bentuk kesehatan, anak, kekayaan, dan istri shalehah.

Menurut Ibnu Qoyyim rahimahullah, anak merupakan bentuk nikmat. Anak merupakan pemberian dari Allah Ta’ala. Pemberian ini merupakan amanah. Karenanya, setiap orang tua yang dikaruniai anak harus berusaha mengarahkan anak agar tetap terjaga fithrahnya. Yaitu, tetap terjaga tauhid atau keislamannya.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda;

كُلُّ مَوْ لُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَة فَأبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan diatas fithrah (bertauhid). Maka, kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR.Bukhori, no.1384 dan Muslim, no.2658, Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Pengertian fithrah adalah tahuhid, Seperti diungkapkan Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah, bahwa penetapan kerububiyahan Allah adalah bersifat fithrah. Pendidikan yang salah akan menyebabkan perubahan arah pada anak. (lihat Aqidah At-Tauhid, hal:28).

Maka, menjaga agar fithrah itu tetap ada merupakan kewajiban orang tua muslim. Inilah amanah terbesar yang harus ditunaikan para orang tua. Mengawal tauhid anak agar selamat, untuk hal ini para orang tua dituntut berusaha membekali anak dengan pendidikan islam yang baik dan benar.

Ditengah pertarungan budaya yang teramat tajam, mendidik anak kearah yang dicitakan tentu tak mudah, memohon kepada Allah Ta’ala, berdo’a dengan kesungguhan seraya terus berusaha tentu sebuah langkah bijak.

Menyadari anak sebagai amanah yang kelak akan dimintai pertanggung jawabannya adalah langkah awal menuju pendidikan yang baik dan benar. Tanpa kesadaran ini orang tua akan semaunya dalam mendidik anak. Tentunya, di iringi dengan kejahilannya, anak akan diantarkan pada taraf pendidikan yang sekedar bertujuan pragmatis, Cuma sekedar untuk duniawinya. Adapun akhirat, terlalaikan, tidak tersentuh sama sekali.

Wallahu a’lam.


BY : Al-Ustadz Ayip Syafruddin