Manusia adalah makhluk yang lalai.
Tidak hanya lalai untuk mengerjakan amal
ketakwaan namun juga lalai dari dosa-dosa. Lebih memilukan lagi jika manusia
acap mengentengkan dosa atau maksiat yang ia perbuat. Seolah-olah dengan
sikapnya itu, ia aman dari adzab Allah di dunia ataupun di akhirat.
Allah telah menciptakan bumi dan menghiasinya dengan
berbagai perhiasan yang indah dan menawan untuk menguji hamba-Nya, siapa di
antara mereka yang taat kepada-Nya dan siapa yang membangkang perintah-Nya.
Allah l berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi
sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka
yang terbaik amalannya. Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan
(pula) apa yang ada di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus.” (Al-Kahfi: 7-8)
Diperintahnya hamba untuk melakukan kebaikan dan dilarangnya
dari kemaksiatan adalah semata-mata demi kebaikan hamba, karena Allah sangat
penyayang terhadap manusia. Dan suatu hal yang pasti bahwa tidaklah Allah memerintahkan suatu kebaikan sekecil apapun kecuali pasti di dalamnya
terkandung maslahat, baik disadari ataupun tidak. Demikian pula jika melarang
sesuatu, tentu di dalamnya terdapat mudarat yang membahayakan hamba.
Kewajiban Mengagungkan Allah dan Takut Kepada-Nya
Tak kenal maka tak sayang. Demikian keadaan orang yang tidak
mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Sehingga, sesuai dengan
kadar pengetahuan seseorang terhadap Allah, sebatas itu pula pengagungannya
terhadap-Nya. Sesungguhnya mengenal Allah dengan sebenar-benar pengenalan
merupakan pokok kebaikan. Dengannya, seseorang selalu merasa diawasi oleh Allah. Sehingga tidaklah dia berucap kecuali yang benar dan tidak berbuat melainkan
yang baik. Berbeda dengan orang yang tidak mengenal Allah dengan
sebenar-benar pengenalan. Allah berfirman:
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang
semestinya.” (Az-Zumar: 67)
Ayat ini mencakup setiap orang yang meremehkan kedudukan
Allah seperti orang-orang atheis yang mengingkari adanya Allah. Demikian
pula orang–orang musyrik yang meyakini adanya Allah serta meyakini bahwa Ia
yang mengatur alam semesta, namun dalam beribadah mempersekutukan Allah dengan makhluk-Nya. Ayat ini juga meliputi orang–orang yang mengingkari
nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya atau memercayainya tetapi menakwilkannya
dengan selain makna yang sesungguhnya.
Termasuk meremehkan keagungan Allah adalah bermaksiat
kepada-Nya dan melakukan apa yang diharamkan-Nya berupa kemaksiatan, serta
meninggalkan ketaatan yang Allah l wajibkan.
Suatu hal yang tidak diragukan lagi bahwa orang yang
membangkang kepada makhluk (misalnya raja) berarti dia telah meremehkannya.
Bagaimana dengan orang yang membangkang terhadap Al-Khaliq (Allah)?! (Lihat
I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitab At-Tauhid Asy-Syaikh Al-Fauzan, 2/442-447)
Sebab-sebab Terjatuhnya Seseorang dalam Maksiat
Sesungguhnya lemahnya keimanan dan keyakinan seseorang terhadap
Allah, Dzat yang menciptakan makhluk dan yang mengaturnya, merupakan perkara
yang berbahaya. Tidak adanya perasaan takut kepada Allah akan menyebabkan
seseorang meremehkan janji Allah dan ancaman-Nya. Janji-Nya di dunia (bagi
yang taat) adalah kemenangan dan kebahagiaan, serta di akhirat adalah surga
yang luasnya seperti langit dan bumi. Adapun ancaman-Nya (bagi yang
membangkang) di dunia adalah kehinaan dan ketidaktentraman, serta di akhirat
kelak adalah belenggu yang melilit tubuhnya dan diseret ke dalam neraka yang
menyala-nyala.
Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan atas hamba yang
beriman untuk bertakwa kepada Allah serta takut kepada-Nya dengan
melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Adalah ‘Umar bin
Al-Khaththab berkata: “Kalau seandainya ada yang memanggil dari langit:
‘Wahai manusia, seluruh kalian masuk surga kecuali satu orang,’ maka saya
khawatir bahwa sayalah orangnya.”
Di antara sebab terjatuhnya seseorang ke dalam maksiat
adalah kebodohan seseorang tentang Allah dan syariat-Nya. Kebodohan merupakan
penyakit kronis yang jika tidak segera diobati akan membinasakan pemiliknya.
Obat dari kebodohan adalah mempelajari Al-Qur`an dan Sunnah (hadits Rasulullah).
Cinta dunia dan tenggelam dalam kelezatannya sehingga melalaikan
dari ketaatan juga faktor utama yang menyebabkan seseorang terjerumus ke dalam
dosa. Demikian pula lalai dengan tujuan hidup yang sesungguhnya serta tidak mau
mengambil pelajaran dari yang telah lewat. Allah berfirman:
“Hai manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian dan takutlah
suatu hari yang (pada hari itu) seorang ayah tidak dapat menolong anaknya dan
seorang anak tidak dapat (pula) menolong ayahnya sedikitpun. Sesungguhnya janji
Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayamu dan
jangan pula penipu (syaitan) memperdayamu dalam menaati Allah.” (Luqman: 33)
Allah juga berfirman:
“Dan berapa banyak umat-umat yang telah Kami binasakan
sebelum mereka yang mereka itu lebih besar kekuatannya daripada mereka ini,
padahal mereka (yang telah dibinasakan itu) pernah menjelajahi beberapa negeri.
Adakah (mereka) mendapat tempat lari (dari kebinasaan)?” (Qaf: 36) [Lihat
Taujihul Muslimin ila Thariq An-Nashri Wat Tamkin karya Muhammad Jamil Zainu,
dkk, hal. 39-45)
Tingkatan-tingkatan Dosa
Dosa adalah bentuk pelanggaran terhadap larangan Allah atau meninggalkan apa yang diperintahkan-Nya. Dan dosa itu bertingkat-tingkat
kejahatannya. Ada yang besar dan ada pula yang kecil. Adapun dosa besar adalah
setiap pelanggaran yang pelakunya mendapatkan had (hukuman yang telah ada
ketentuannya dari syariat) seperti membunuh, berzina dan mencuri, atau yang ada
ancaman secara khusus di akhirat nanti berupa adzab dan kemurkaan Allah l, atau
yang pelakunya dilaknat melalui lisan Rasulullah. (Al-Kaba`ir karya
Adz-Dzahabi t hal. 13-14, cet. Maktabah As Sunnah)
Adapun jumlah dosa besar lebih dari tujuh puluh. Sekian
banyak dosa besar itupun bertingkat-tingkat. Ada dosa besar yang paling besar misalnya
syirik, membunuh jiwa tanpa hak, dan durhaka kepada orangtua. Karena bahaya
yang mengancam pelaku dosa besar di dunia dan di akhirat nanti, kita dapati
sebagian ulama Ahlus Sunnah menulis kitab tentang dosa-dosa besar (al-kaba`ir)
semisal Al-Imam Adz-Dzahabi dan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumallah.
Hal ini agar orang tahu tentang dosa-dosa besar sehingga mereka akan
menjauhinya.
Allah telah menjanjikan surga dan ampunan-Nya bagi yang
menjauhi dosa-dosa besar sebagaimana dalam firman-Nya:
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang
dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu
(dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).”
(An-Nisa`: 31)
Allah juga telah menjadikan orang yang meninggalkan
dosa-dosa besar masuk dalam golongan orang yang beriman dan bertawakal
kepada-Nya. Allah berfirman:
“Maka segala sesuatu yang diberikan kepadamu, itu adalah
kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih
kekal bagi orang–orang yang beriman, dan hanya kepada Rabb mereka, mereka
bertawakal, dan bagi orang–orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan
perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.”
(Asy-Syura: 36-37)
Nabi n bersabda:
الصَّلاَة ُالْـخَمْسُ وَالْـجُمُعَةُ إِلَى الْـجُمُعَةِ
كَفَّارَةٌ لِـمَا بَيْنَهُنَّ مَا لَـمْ تُغْشَ الْكَبَائِرُ
“Shalat lima
waktu dan Jum’at ke Ju’mat (berikutnya) adalah penghapus apa yang di antaranya
dari dosa selagi dosa besar tidak didatangi (dilakukan).” (HR. Muslim Kitabut
Thaharah Bab Fadhlul Wudhu wash Shalah ‘Aqibihi no. 233 dari Abu Hurairah)
Kapan suatu Dosa menjadi Besar?
Ketika hendak melakukan dosa, janganlah melihat kepada
kecilnya dosa. Namun lihatlah, kepada siapa dia berbuat dosa? Patutkah bagi
seseorang yang diciptakan dan diberi oleh Allah sarana yang lengkap dan
cukup, lantas melanggar larangan-Nya?!
Sesungguhnya suatu dosa bisa menjadi besar karena hal-hal
berikut:
- Dosa yang dilakukan secara rutin. Sehingga dahulu dikatakan: “Tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus, dan tidak ada dosa besar jika diikuti istighfar (permintaan ampunan kepada Allah l).”
- Menganggap remeh suatu dosa. Ketika seorang hamba menganggap besar dosa yang dilakukannya maka menjadi kecil di sisi Allah. Namun jika ia menganggap kecil maka menjadi besar di sisi Allah. Disebutkan dalam suatu atsar bahwa seorang mukmin melihat dosa-dosanya laksana dia duduk di bawah gunung di mana ia khawatir gunung itu akan menimpanya. Sedangkan orang durhaka melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya lalu dia halau dengan tangannya. (Shahih Al-Al-Bukhari no. 6308)
- Bangga dengan dosa yang dilakukannya serta menganggap bisa melakukan dosa sebagai suatu nikmat. Setiap kali seorang hamba menganggap manis suatu dosa, maka menjadi besar kemaksiatannya serta besar pula pengaruhnya dalam menghitamkan hati. Karena setiap kali seorang berbuat dosa, akan dititik hitam pada hatinya.
- Menganggap ringan suatu dosa karena mengira ditutupi oleh Allah dan diberi tangguh serta tidak segera dibeberkan atau diadzab. Orang yang seperti ini tidak tahu bahwa ditangguhkannya adzab adalah agar bertambah dosanya.
- Sengaja menampakkan dosa di mana sebelumnya tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah, sehingga mendorong orang yang pada dirinya ada bibit–bibit kejahatan untuk ikut melakukannya. Demikian pula orang yang sengaja berbuat maksiat di hadapan orang. Nabi n bersabda:
كُلُّ أُمَّتِـي مُعَافًى إِلاَّ الْـمُجَاهِرِيْنَ وَإِنَّ
مِنَ الْـمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحُ
وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ فَيَقُولُ: يَا فُلاَنُ، عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا
وَكَذَا؛ وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ
عَنْهُ
“Semua umatku dimaafkan oleh Allah kecuali orang yang
berbuat (maksiat) terang-terangan. Dan di antara bentuk menampakkan maksiat
adalah seorang melakukan pada malam hari perbuatan (dosa) dan berada di pagi
hari Allah menutupi (tidak membeberkan) dosanya lalu dia berkata: ‘Wahai Si
fulan, tadi malam aku melakukan begini dan begini.’ Padahal dia berada di malam
hari ditutupi oleh Rabbnya namun di pagi hari ia membuka apa yang Allah tutupi darinya.” (HR. Al-Bukhari no. 6069 dari Abu Hurairah )
Ibnu Baththal mengatakan: “Menampakkan maksiat merupakan
bentuk pelecehan terhadap hak Allah, Rasul-Nya, dan orang–orang shalih dari
kaum mukminin…” (Fathul Bari, 10/486)
Sebagian salaf mengatakan: “Janganlah kamu berbuat dosa.
Jika memang terpaksa melakukannya, maka jangan kamu mendorong orang lain
kepadanya, nantinya kamu melakukan dua dosa.”
Oleh karena itu, Allah l berfirman:
“Orang–orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian
dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat yang mungkar dan
melarang berbuat yang ma’ruf.” (At-Taubah: 67)
6. Dosa menjadi besar jika dilakukan seorang yang alim
(berilmu) yang menjadi panutan. (Lihat Taujihul Muslimin ila Thariq An-Nashri
Wat Tamkin hal. 29-32 karya Muhammad Jamil Zainu)
Pengaruh Dosa atau Maksiat
Pengaruh
dosa terhadap hati seperti bahayanya racun bagi tubuh. Dan tidak ada suatu
kejelekan di dunia dan di akhirat kecuali sebabnya adalah dosa dan maksiat.
Apakah yang menyebabkan Adam dan Hawa dikeluarkan dari surga -tempat yang penuh
kelezatan dan kenikmatan- kepada negeri yang terdapat berbagai penderitaan
(dunia)?!
Apa pula yang menyebabkan Iblis diusir dari kerajaan yang ada di langit serta
mendapat kutukan Allah?!
Dengan sebab apa kaum Nabi Nuh 'alaihissallam yang kufur ditenggelamkan oleh
banjir, kaum ‘Aad dibinasakan oleh angin, serta berbagai siksaan di dunia yang
menimpa umat-umat terdahulu sehingga ada yang diubah tubuhnya menjadi kera dan
babi?!
Itu semua adalah akibat dari dosa yang mereka lakukan. Hendaklah peristiwa yang
telah berlalu cukup menjadi pelajaran yang berharga bagi orang-orang yang
setelahnya. Karena orang yang baik adalah yang mampu mengambil pelajaran dari
orang lain dan bukan menjadi pelajaran yang jelek bagi generasi setelahnya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَكُلاًّ أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ فَمِنْهُمْ مَنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا
وَمِنْهُمْ مَنْ أَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ وَمِنْهُمْ مَنْ خَسَفْنَا بِهِ اْلأَرْضَ
وَمِنْهُمْ مَنْ أَغْرَقْنَا وَمَا كَانَ اللهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا
أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
"Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa sebab dosanya, maka di antara
mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil, di antara mereka
ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, di antara mereka ada yang Kami
benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan. Dan
Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang
menganiaya diri mereka sendiri." (Al-‘Ankabut: 40)
Dosa menghalangi seorang dari memperoleh ilmu yang bermanfaat. Karena
ilmu merupakan cahaya yang Allah Subhanahu wa Ta'ala letakkan pada hati
seseorang, sedangkan maksiat yang akan meredupkan cahaya tersebut. Tatkala
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu duduk di hadapan gurunya, Al-Imam Malik t,
sang guru melihat kesempurnaan pemahaman Asy-Syafi’i t. Maka ia berpesan
kepadanya: "Sungguh, aku memandang Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
meletakkan pada hatimu cahaya, maka janganlah kau padamkan dengan gelapnya
kemaksiatan."
Maksiat menyebabkan seorang terhalang dari rizki, sebagaimana sebaliknya
yaitu takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mendatangkan rizki.
Adanya kegersangan pada hati orang yang berbuat maksiat dan kesenjangan
antara dia dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Disulitkan urusannya, sehingga tidaklah ia menuju kepada suatu perkara
kecuali ia mendapatkannya tertutup. Kegelapan yang ia dapatkan pada hatinya. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
'anhuma berkata: "Sesungguhnya kebaikan mendatangkan sinar pada wajah,
cahaya di hati, luasnya rizki, kuatnya badan, dan dicintai oleh makhluk.
Sedangkan kejelekan (kemaksiatan) akan menimbulkan hitamnya wajah, gelapnya
hati, lemahnya badan, berkurangnya rizki, dan kebencian hati para makhluk.
Kemaksiatan melenyapkan barakah umur serta memendekkannya. Karena,
sebagaimana kebaikan menambahkan umur, maka (sebaliknya) kedurhakaan
memendekkan umur.
Tabiat dari kemaksiatan adalah melahirkan kemaksiatan yang lainnya.
Lihatlah hasad yang ada pada saudara-saudara Nabi Yusuf 'alaihissallam yang
menyeret mereka kepada tindakan memisahkan antara bapak dan anaknya sehingga
menimbulkan kesedihan pada orang lain, memutuskan hubungan kekerabatan, berucap
dengan kedustaan, membodohi orang, dan yang sejenisnya.
Kemaksiatan menjadikan seorang hamba hina di mata Allah Subhanahu wa
Ta'ala. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata: "Mereka (pelaku maksiat)
rendah di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala sehingga mereka bermaksiat
kepada-Nya, karena seandainya mereka orang yang mulia di hadapan Allah
Subhanahu wa Ta'ala niscaya Allah k akan jaga mereka dari dosa. Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman:
وَمَنْ يُهِنِ اللهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ
"Dan barangsiapa yang dihinakan Allah maka tidak seorangpun yang
memuliakannya." (Al-Hajj: 18)
Kemaksiatan mengundang kehinaan, merusak akal. Dan jika dosa telah
banyak maka pelakunya akan ditutup hatinya sehingga digolongkan sebagai
orang–orang yang lalai. Dosa memunculkan berbagai kerusakan di muka bumi, pada air, udara,
tanaman, buah-buahan, dan tempat tinggal. Kemaksiatan menghilangkan sifat malu yang merupakan pokok segala
kebaikan serta melemahkan hati pelakunya. Kemaksiatan menyebabkan hilangnya nikmat dan mendatangkan adzab. Ali bin
Abi Thalib radhiyallahu 'anhu berkata: "Tidaklah turun suatu bencana
kecuali karena dosa, dan tidaklah dicegah suatu bencana kecuali dengan taubat.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ
كَثِيرٍ
"Dan apa saja musibah yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan
tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu)." (Asy-Syura: 30)
Pelajaran dan
Nasihat
Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Adam ‘alaihissallam dengan
Tangan-Nya, Ia memuliakannya di hadapan para malaikat dengan memerintahkan
mereka sujud kepadanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengajarinya nama-nama segala
sesuatu serta menempatkannya bersama istrinya Hawa di dalam surga, tempat
berhuninya beragam nikmat. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memperingatkan kepada
keduanya dari bahaya godaan Iblis serta melarang keduanya dari memakan dari
buah pohon di surga, sebagai ujian.
Tetapi Iblis yang terkutuk selalu menggoda dengan bujuk rayunya yang manis
hingga Adam dan Hawa memakan dari pohon yang terlarang tersebut. Keduanya pun
bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dengan serta-merta lepaslah
baju keduanya sehingga tampak auratnya. Kemudian keduanya dikeluarkan dari
surga ke bumi, tempat yang penuh dengan kekeruhan dan keletihan. Namun Allah
Subhanahu wa Ta’ala masih sayang kepada mereka berdua di mana keduanya sadar
akan kesalahannya dan bertaubat sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengampuninya.
Perhatikan peristiwa yang menimpa Adam dan Hawa! Tadinya menempati surga dengan
keindahannya serta dihormati oleh malaikat. Namun dengan satu kemaksiatan,
kemuliaan dicabut, bajupun menjadi lepas sehingga tersingkap auratnya, serta
harus menjalani kehidupan yang sengsara di dunia setelah sebelumnya hidup
sentosa di surga.
Demikian pula di saat perang Uhud pada tahun ke-3 Hijriah, Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menempatkan pasukan pemanah di atas bukit. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam berpesan kepada mereka untuk tidak meninggalkan posisi mereka
baik muslimin kalah atau menang. Pada awalnya muslimin mampu memukul mundur
pasukan musyrikin sehingga tiba saatnya mereka memunguti harta rampasan perang.
Para pemanah menyangka bahwa perang telah usai dan mengira tidak ada manfaatnya
lagi mereka tetap di atas bukit. Sehingga sebagian mereka ingin turun, tetapi
ditegur oleh sebagian yang lain dengan pesan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk tidak turun. Namun sebagian nekad turun dan bermaksiat pada
perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itulah sebagian musyrikin
melihat benteng pertahanan muslimin di atas bukit telah bisa ditembus sehingga
mereka menyerang dari belakang bukit sisa-sisa pasukan pemanah sehingga mereka
terbunuh.
Mereka pun menyerang muslimin dari belakang dalam keadaan pedang-pedang telah
dimasukkan ke dalam sarungnya. Lalu datang pula serangan dari depan hingga
mereka terjepit. Gugurlah sekian sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai syuhada dan sebagian lagi terluka, sampai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun terluka dan terperosok ke dalam lubang yang dibuat oleh musyrikin.
Sehingga mereka pulang ke Madinah dengan kekalahan, kaki terseok-seok, serta
tubuh yang penuh luka. Itu semua disebabkan kemaksiatan sebagian pasukan
muslimin.
Cobalah perhatikan! Dengan satu kemaksiatan, kemenangan yang sudah di depan
mata hilang. Dan pahitnya kekalahan dirasakan oleh seluruh pasukan, padahal di
dalamnya ada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang mulia.
Maka bisa dibayangkan bagaimana orang–orang yang setiap saat melanggar perintah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak takutkah mereka terhadap adzab yang
akan ditimpakan?!
Tidak
Mengentengkan Dosa
Terkadang seseorang menganggap enteng suatu dosa terlebih jika itu dosa kecil.
Sehingga ia terus-menerus melakukannya dan kurang memedulikannya. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan akan hal ini dengan
sabdanya:
إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ فَإِنَّمَا مَثَلُ مُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ
كَمَثَلِ قَوْمٍ نَزَلُوا بَطْنَ وَادٍ، فَجَاءَ ذَا بِعُوْدٍ وَجَاءَ ذَا
بِعُودٍ، حَتَّى حَمَلُوا مَا انْضَجُّوا بِهِ خُبْزَهُمْ وَإِنَّ مُحَقَّرَاتِ
الذُّنُوبِ مَتَى يُؤْخَذْ بِهَا صَاحِبُهَا تُهْلِكْهُ
“Berhati-hatilah kalian dari dosa-dosa kecil. Karena perumpamaan dosa kecil
seperti suatu kaum yang singgah pada suatu lembah lalu datang seorang dengan
membawa satu dahan (kayu bakar) dan yang lain (juga) membawa satu dahan hingga
mereka telah mengumpulkan sesuatu yang bisa menjadikan roti mereka matang. Dan
sesungguhnya dosa-dosa kecil, ketika pelakunya diadzab dengannya maka akan
membinasakannya.” (HR. Ahmad, Ath-Thabarani, dan lain-lain dari jalan Sahl bin
Sa’d radhiyallahu ‘anhu dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu
dalam Shahih Al-Jami’ no. 2686)
Waspadalah dari dosa dan jangan tertipu karena kecil atau sedikitnya. Lihatlah
bagaimana dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memotong tangan seorang
pencuri karena mencuri (hanya) 3 dirham seperti dalam Shahih Al-Bukhari (no.
6795).
Dan seorang wanita masuk neraka gara-gara kucing yang dikurungnya. Dia tidak
memberinya makan dan tidak melepasnya agar bisa memakan serangga bumi sehingga
kurus dan mati. (Lihat Shahih Muslim no. 2619)
Demikian pula dahulu di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seorang
yang terbunuh di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga para sahabat
memberikan ucapan selamat kepadanya. Tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan: “Tidak. Sesungguhnya pakaian yang dia curi dari harta rampasan
perang Khaibar yang belum dibagi-bagi akan menyala atasnya api neraka.” [Lihat
Shahih Muslim no.115 Kitabul Iman]
Menjauhi Tempat
Maksiat
Pelaku maksiat membawa kesialan bagi dirinya dan orang lain. Sebab
dikhawatirkan akan turun kepadanya adzab yang menyebar kepada yang lainnya, terkhusus
bagi yang tidak mengingkari kemaksiatannya. Sehingga menjauh dari pelaku
maksiat adalah suatu keharusan. Karena, jika kejahatan telah merajalela maka
manusia akan binasa secara umum.
Demikian pula tempat-tempat orang yang bermaksiat dan tempat diadzabnya pelaku
maksiat harus dijauhi karena dikhawatirkan turunnya adzab. Sebagaimana sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabatnya tatkala melewati daerah
kaum Tsamud yang diadzab Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya): “Janganlah
kalian masuk kepada mereka-mereka yang diadzab kecuali dengan menangis, karena
dikhawatirkan akan menimpa kalian apa yang telah menimpa mereka.” (HR. Ahmad,
lihat Ash-Shahihah no. 19)
Demikian pula tatkala ada seorang dari Bani Israil yang telah membunuh seratus
nyawa lalu ia ingin bertaubat dan bertanya kepada seorang ‘alim, apakah masih
ada taubat baginya? Dia menjawab: “Ya.” Lalu dia menyarankan orang itu untuk
pergi dari kampungnya yang jahat ke kampung yang baik.
Dari sini jelas bahwa menjauhi tempat-tempat maksiat dan pelaku maksiat
termasuk perkara yang diperintahkan. Ibrahim bin Ad-ham rahimahullahu
mengatakan: “Barangsiapa ingin taubat, hendaklah ia keluar dari tempat-tampat
kedzaliman serta meninggalkan bergaul dengan orang yang dahulu ia bergaul
dengannya (dalam maksiat). Jika hal ini tidak dilakukan maka dia tidak
mendapatkan yang diharapkan.”
Waspadailah dosa karena dia suatu kesialan! Akibatnya sangat tercela,
hukumannya pedih, hati yang menyukainya berpenyakit. Terbebas dari dosa suatu
keberuntungan, selamat dari dosa tak ternilaikan, dan terfitnah (diuji) dengan
dosa terlebih setelah rambut beruban adalah musibah besar. (Lihat Qala Ibnu
Rajab hal. 53-55)
Segera Kembali
ke Jalan Allah
Wahai orang yang tenggelam dalam dosa dan perbuatan nista, kembalilah kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala! Sadarlah bahwa kamu akan menghadap Allah Subhanahu
wa Ta’ala untuk mempertanggungjawabkan segala amal perbuatanmu di dunia ini!
Belumkah tiba saatnya engkau berhenti dari diperbudak setan yang ujungnya
engkau menjadi temannya di neraka yang menyala-nyala?! Lepaskanlah belenggu
setan yang melilit dirimu, dan larilah menuju Ar-Rahman (Allah Subhanahu wa
Ta’ala) dengan bersimpuh di hadapan-Nya, niscaya kamu diberi jaminan keamanan
dan kebahagiaan. Lembaran hitam kelammu akan diganti dengan yang putih lagi
bersih serta akan dibentangkan di hadapanmu jalan yang terang.
Bersegeralah
sebelum segala sesuatunya terlambat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَتُوبُوا إِلَى اللهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang–orang yang beriman
supaya kamu beruntung.” (An-Nur: 31)
Wallahu a’lam.