Senin, 29 Oktober 2012

JANGAN MEREMEHKAN DOSA



Manusia adalah makhluk yang lalai.
Tidak hanya lalai untuk mengerjakan amal ketakwaan namun juga lalai dari dosa-dosa. Lebih memilukan lagi jika manusia acap mengentengkan dosa atau maksiat yang ia perbuat. Seolah-olah dengan sikapnya itu, ia aman dari adzab Allah  di dunia ataupun di akhirat.

Allah telah menciptakan bumi dan menghiasinya dengan berbagai perhiasan yang indah dan menawan untuk menguji hamba-Nya, siapa di antara mereka yang taat kepada-Nya dan siapa yang membangkang perintah-Nya. Allah l berfirman:

“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik amalannya. Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang ada di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus.” (Al-Kahfi: 7-8)

Diperintahnya hamba untuk melakukan kebaikan dan dilarangnya dari kemaksiatan adalah semata-mata demi kebaikan hamba, karena Allah sangat penyayang terhadap manusia. Dan suatu hal yang pasti bahwa tidaklah Allah memerintahkan suatu kebaikan sekecil apapun kecuali pasti di dalamnya terkandung maslahat, baik disadari ataupun tidak. Demikian pula jika melarang sesuatu, tentu di dalamnya terdapat mudarat yang membahayakan hamba.

Kewajiban Mengagungkan Allah dan Takut Kepada-Nya

Tak kenal maka tak sayang. Demikian keadaan orang yang tidak mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Sehingga, sesuai dengan kadar pengetahuan seseorang terhadap Allah, sebatas itu pula pengagungannya terhadap-Nya. Sesungguhnya mengenal Allah dengan sebenar-benar pengenalan merupakan pokok kebaikan. Dengannya, seseorang selalu merasa diawasi oleh Allah. Sehingga tidaklah dia berucap kecuali yang benar dan tidak berbuat melainkan yang baik. Berbeda dengan orang yang tidak mengenal Allah dengan sebenar-benar pengenalan. Allah berfirman:
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya.” (Az-Zumar: 67)

Ayat ini mencakup setiap orang yang meremehkan kedudukan Allah seperti orang-orang atheis yang mengingkari adanya Allah. Demikian pula orang–orang musyrik yang meyakini adanya Allah serta meyakini bahwa Ia yang mengatur alam semesta, namun dalam beribadah mempersekutukan Allah dengan makhluk-Nya. Ayat ini juga meliputi orang–orang yang mengingkari nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya atau memercayainya tetapi menakwilkannya dengan selain makna yang sesungguhnya.

Termasuk meremehkan keagungan Allah adalah bermaksiat kepada-Nya dan melakukan apa yang diharamkan-Nya berupa kemaksiatan, serta meninggalkan ketaatan yang Allah l wajibkan.
Suatu hal yang tidak diragukan lagi bahwa orang yang membangkang kepada makhluk (misalnya raja) berarti dia telah meremehkannya. Bagaimana dengan orang yang membangkang terhadap Al-Khaliq (Allah)?! (Lihat I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitab At-Tauhid Asy-Syaikh Al-Fauzan, 2/442-447)

Sebab-sebab Terjatuhnya Seseorang dalam Maksiat

Sesungguhnya lemahnya keimanan dan keyakinan seseorang terhadap Allah, Dzat yang menciptakan makhluk dan yang mengaturnya, merupakan perkara yang berbahaya. Tidak adanya perasaan takut kepada Allah akan menyebabkan seseorang meremehkan janji Allah dan ancaman-Nya. Janji-Nya di dunia (bagi yang taat) adalah kemenangan dan kebahagiaan, serta di akhirat adalah surga yang luasnya seperti langit dan bumi. Adapun ancaman-Nya (bagi yang membangkang) di dunia adalah kehinaan dan ketidaktentraman, serta di akhirat kelak adalah belenggu yang melilit tubuhnya dan diseret ke dalam neraka yang menyala-nyala.

Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan atas hamba yang beriman untuk bertakwa kepada Allah serta takut kepada-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Adalah ‘Umar bin Al-Khaththab berkata: “Kalau seandainya ada yang memanggil dari langit: ‘Wahai manusia, seluruh kalian masuk surga kecuali satu orang,’ maka saya khawatir bahwa sayalah orangnya.”

Di antara sebab terjatuhnya seseorang ke dalam maksiat adalah kebodohan seseorang tentang Allah dan syariat-Nya. Kebodohan merupakan penyakit kronis yang jika tidak segera diobati akan membinasakan pemiliknya. Obat dari kebodohan adalah mempelajari Al-Qur`an dan Sunnah (hadits Rasulullah).

Cinta dunia dan tenggelam dalam kelezatannya sehingga melalaikan dari ketaatan juga faktor utama yang menyebabkan seseorang terjerumus ke dalam dosa. Demikian pula lalai dengan tujuan hidup yang sesungguhnya serta tidak mau mengambil pelajaran dari yang telah lewat. Allah  berfirman:

“Hai manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian dan takutlah suatu hari yang (pada hari itu) seorang ayah tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong ayahnya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayamu dan jangan pula penipu (syaitan) memperdayamu dalam menaati Allah.” (Luqman: 33)

Allah juga berfirman:
“Dan berapa banyak umat-umat yang telah Kami binasakan sebelum mereka yang mereka itu lebih besar kekuatannya daripada mereka ini, padahal mereka (yang telah dibinasakan itu) pernah menjelajahi beberapa negeri. Adakah (mereka) mendapat tempat lari (dari kebinasaan)?” (Qaf: 36) [Lihat Taujihul Muslimin ila Thariq An-Nashri Wat Tamkin karya Muhammad Jamil Zainu, dkk, hal. 39-45)

Tingkatan-tingkatan Dosa

Dosa adalah bentuk pelanggaran terhadap larangan Allah atau meninggalkan apa yang diperintahkan-Nya. Dan dosa itu bertingkat-tingkat kejahatannya. Ada yang besar dan ada pula yang kecil. Adapun dosa besar adalah setiap pelanggaran yang pelakunya mendapatkan had (hukuman yang telah ada ketentuannya dari syariat) seperti membunuh, berzina dan mencuri, atau yang ada ancaman secara khusus di akhirat nanti berupa adzab dan kemurkaan Allah l, atau yang pelakunya dilaknat melalui lisan Rasulullah. (Al-Kaba`ir karya Adz-Dzahabi t hal. 13-14, cet. Maktabah As Sunnah)

Adapun jumlah dosa besar lebih dari tujuh puluh. Sekian banyak dosa besar itupun bertingkat-tingkat. Ada dosa besar yang paling besar misalnya syirik, membunuh jiwa tanpa hak, dan durhaka kepada orangtua. Karena bahaya yang mengancam pelaku dosa besar di dunia dan di akhirat nanti, kita dapati sebagian ulama Ahlus Sunnah menulis kitab tentang dosa-dosa besar (al-kaba`ir) semisal Al-Imam Adz-Dzahabi dan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumallah. Hal ini agar orang tahu tentang dosa-dosa besar sehingga mereka akan menjauhinya.

Allah telah menjanjikan surga dan ampunan-Nya bagi yang menjauhi dosa-dosa besar sebagaimana dalam firman-Nya:

“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (An-Nisa`: 31)

Allah juga telah menjadikan orang yang meninggalkan dosa-dosa besar masuk dalam golongan orang yang beriman dan bertawakal kepada-Nya. Allah berfirman:

“Maka segala sesuatu yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang–orang yang beriman, dan hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakal, dan bagi orang–orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.” (Asy-Syura: 36-37)

Nabi n bersabda:

الصَّلاَة ُالْـخَمْسُ وَالْـجُمُعَةُ إِلَى الْـجُمُعَةِ كَفَّارَةٌ لِـمَا بَيْنَهُنَّ مَا لَـمْ تُغْشَ الْكَبَائِرُ
“Shalat lima waktu dan Jum’at ke Ju’mat (berikutnya) adalah penghapus apa yang di antaranya dari dosa selagi dosa besar tidak didatangi (dilakukan).” (HR. Muslim Kitabut Thaharah Bab Fadhlul Wudhu wash Shalah ‘Aqibihi no. 233 dari Abu Hurairah)

Kapan suatu Dosa menjadi Besar?

Ketika hendak melakukan dosa, janganlah melihat kepada kecilnya dosa. Namun lihatlah, kepada siapa dia berbuat dosa? Patutkah bagi seseorang yang diciptakan dan diberi oleh Allah sarana yang lengkap dan cukup, lantas melanggar larangan-Nya?!

Sesungguhnya suatu dosa bisa menjadi besar karena hal-hal berikut:

  1. Dosa yang dilakukan secara rutin. Sehingga dahulu dikatakan: “Tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus, dan tidak ada dosa besar jika diikuti istighfar (permintaan ampunan kepada Allah l).”
  2. Menganggap remeh suatu dosa. Ketika seorang hamba menganggap besar dosa yang dilakukannya maka menjadi kecil di sisi Allah. Namun jika ia menganggap kecil maka menjadi besar di sisi Allah. Disebutkan dalam suatu atsar bahwa seorang mukmin melihat dosa-dosanya laksana dia duduk di bawah gunung di mana ia khawatir gunung itu akan menimpanya. Sedangkan orang durhaka melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya lalu dia halau dengan tangannya. (Shahih Al-Al-Bukhari no. 6308)
  3. Bangga dengan dosa yang dilakukannya serta menganggap bisa melakukan dosa sebagai suatu nikmat. Setiap kali seorang hamba menganggap manis suatu dosa, maka menjadi besar kemaksiatannya serta besar pula pengaruhnya dalam menghitamkan hati. Karena setiap kali seorang berbuat dosa, akan dititik hitam pada hatinya.
  4. Menganggap ringan suatu dosa karena mengira ditutupi oleh Allah dan diberi tangguh serta tidak segera dibeberkan atau diadzab. Orang yang seperti ini tidak tahu bahwa ditangguhkannya adzab adalah agar bertambah dosanya.
  5. Sengaja menampakkan dosa di mana sebelumnya tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah, sehingga mendorong orang yang pada dirinya ada bibit–bibit kejahatan untuk ikut melakukannya. Demikian pula orang yang sengaja berbuat maksiat di hadapan orang. Nabi n bersabda:

كُلُّ أُمَّتِـي مُعَافًى إِلاَّ الْـمُجَاهِرِيْنَ وَإِنَّ مِنَ الْـمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحُ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ فَيَقُولُ: يَا فُلاَنُ، عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا؛ وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ

“Semua umatku dimaafkan oleh Allah kecuali orang yang berbuat (maksiat) terang-terangan. Dan di antara bentuk menampakkan maksiat adalah seorang melakukan pada malam hari perbuatan (dosa) dan berada di pagi hari Allah menutupi (tidak membeberkan) dosanya lalu dia berkata: ‘Wahai Si fulan, tadi malam aku melakukan begini dan begini.’ Padahal dia berada di malam hari ditutupi oleh Rabbnya namun di pagi hari ia membuka apa yang Allah tutupi darinya.” (HR. Al-Bukhari no. 6069 dari Abu Hurairah )

Ibnu Baththal mengatakan: “Menampakkan maksiat merupakan bentuk pelecehan terhadap hak Allah, Rasul-Nya, dan orang–orang shalih dari kaum mukminin…” (Fathul Bari, 10/486)

Sebagian salaf mengatakan: “Janganlah kamu berbuat dosa. Jika memang terpaksa melakukannya, maka jangan kamu mendorong orang lain kepadanya, nantinya kamu melakukan dua dosa.”

Oleh karena itu, Allah l berfirman:
“Orang–orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat yang mungkar dan melarang berbuat yang ma’ruf.” (At-Taubah: 67)

6. Dosa menjadi besar jika dilakukan seorang yang alim (berilmu) yang menjadi panutan. (Lihat Taujihul Muslimin ila Thariq An-Nashri Wat Tamkin hal. 29-32 karya Muhammad Jamil Zainu)

Pengaruh Dosa atau Maksiat

Pengaruh dosa terhadap hati seperti bahayanya racun bagi tubuh. Dan tidak ada suatu kejelekan di dunia dan di akhirat kecuali sebabnya adalah dosa dan maksiat.


Apakah yang menyebabkan Adam dan Hawa dikeluarkan dari surga -tempat yang penuh kelezatan dan kenikmatan- kepada negeri yang terdapat berbagai penderitaan (dunia)?!


Apa pula yang menyebabkan Iblis diusir dari kerajaan yang ada di langit serta mendapat kutukan Allah?!

Dengan sebab apa kaum Nabi Nuh 'alaihissallam yang kufur ditenggelamkan oleh banjir, kaum ‘Aad dibinasakan oleh angin, serta berbagai siksaan di dunia yang menimpa umat-umat terdahulu sehingga ada yang diubah tubuhnya menjadi kera dan babi?!

Itu semua adalah akibat dari dosa yang mereka lakukan. Hendaklah peristiwa yang telah berlalu cukup menjadi pelajaran yang berharga bagi orang-orang yang setelahnya. Karena orang yang baik adalah yang mampu mengambil pelajaran dari orang lain dan bukan menjadi pelajaran yang jelek bagi generasi setelahnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَكُلاًّ أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ فَمِنْهُمْ مَنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُمْ مَنْ أَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ وَمِنْهُمْ مَنْ خَسَفْنَا بِهِ اْلأَرْضَ وَمِنْهُمْ مَنْ أَغْرَقْنَا وَمَا كَانَ اللهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ

"Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa sebab dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil, di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan. Dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri." (Al-‘Ankabut: 40)

Dosa menghalangi seorang dari memperoleh ilmu yang bermanfaat. Karena ilmu merupakan cahaya yang Allah Subhanahu wa Ta'ala letakkan pada hati seseorang, sedangkan maksiat yang akan meredupkan cahaya tersebut. Tatkala Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu duduk di hadapan gurunya, Al-Imam Malik t, sang guru melihat kesempurnaan pemahaman Asy-Syafi’i t. Maka ia berpesan kepadanya: "Sungguh, aku memandang Allah Subhanahu wa Ta'ala telah meletakkan pada hatimu cahaya, maka janganlah kau padamkan dengan gelapnya kemaksiatan."

Maksiat menyebabkan seorang terhalang dari rizki, sebagaimana sebaliknya yaitu takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mendatangkan rizki.

Adanya kegersangan pada hati orang yang berbuat maksiat dan kesenjangan antara dia dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Disulitkan urusannya, sehingga tidaklah ia menuju kepada suatu perkara kecuali ia mendapatkannya tertutup. Kegelapan yang ia dapatkan pada hatinya. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata: "Sesungguhnya kebaikan mendatangkan sinar pada wajah, cahaya di hati, luasnya rizki, kuatnya badan, dan dicintai oleh makhluk. Sedangkan kejelekan (kemaksiatan) akan menimbulkan hitamnya wajah, gelapnya hati, lemahnya badan, berkurangnya rizki, dan kebencian hati para makhluk.

Kemaksiatan melenyapkan barakah umur serta memendekkannya. Karena, sebagaimana kebaikan menambahkan umur, maka (sebaliknya) kedurhakaan memendekkan umur.

Tabiat dari kemaksiatan adalah melahirkan kemaksiatan yang lainnya. Lihatlah hasad yang ada pada saudara-saudara Nabi Yusuf 'alaihissallam yang menyeret mereka kepada tindakan memisahkan antara bapak dan anaknya sehingga menimbulkan kesedihan pada orang lain, memutuskan hubungan kekerabatan, berucap dengan kedustaan, membodohi orang, dan yang sejenisnya.

Kemaksiatan menjadikan seorang hamba hina di mata Allah Subhanahu wa Ta'ala. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata: "Mereka (pelaku maksiat) rendah di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala sehingga mereka bermaksiat kepada-Nya, karena seandainya mereka orang yang mulia di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala niscaya Allah k akan jaga mereka dari dosa. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَمَنْ يُهِنِ اللهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ
"Dan barangsiapa yang dihinakan Allah maka tidak seorangpun yang memuliakannya." (Al-Hajj: 18)

Kemaksiatan mengundang kehinaan, merusak akal. Dan jika dosa telah banyak maka pelakunya akan ditutup hatinya sehingga digolongkan sebagai orang–orang yang lalai. Dosa memunculkan berbagai kerusakan di muka bumi, pada air, udara, tanaman, buah-buahan, dan tempat tinggal. Kemaksiatan menghilangkan sifat malu yang merupakan pokok segala kebaikan serta melemahkan hati pelakunya. Kemaksiatan menyebabkan hilangnya nikmat dan mendatangkan adzab. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu berkata: "Tidaklah turun suatu bencana kecuali karena dosa, dan tidaklah dicegah suatu bencana kecuali dengan taubat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

"Dan apa saja musibah yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)." (Asy-Syura: 30) 

Pelajaran dan Nasihat


Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Adam ‘alaihissallam dengan Tangan-Nya, Ia memuliakannya di hadapan para malaikat dengan memerintahkan mereka sujud kepadanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengajarinya nama-nama segala sesuatu serta menempatkannya bersama istrinya Hawa di dalam surga, tempat berhuninya beragam nikmat. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memperingatkan kepada keduanya dari bahaya godaan Iblis serta melarang keduanya dari memakan dari buah pohon di surga, sebagai ujian.

Tetapi Iblis yang terkutuk selalu menggoda dengan bujuk rayunya yang manis hingga Adam dan Hawa memakan dari pohon yang terlarang tersebut. Keduanya pun bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dengan serta-merta lepaslah baju keduanya sehingga tampak auratnya. Kemudian keduanya dikeluarkan dari surga ke bumi, tempat yang penuh dengan kekeruhan dan keletihan. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala masih sayang kepada mereka berdua di mana keduanya sadar akan kesalahannya dan bertaubat sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuninya.

Perhatikan peristiwa yang menimpa Adam dan Hawa! Tadinya menempati surga dengan keindahannya serta dihormati oleh malaikat. Namun dengan satu kemaksiatan, kemuliaan dicabut, bajupun menjadi lepas sehingga tersingkap auratnya, serta harus menjalani kehidupan yang sengsara di dunia setelah sebelumnya hidup sentosa di surga.

Demikian pula di saat perang Uhud pada tahun ke-3 Hijriah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menempatkan pasukan pemanah di atas bukit. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada mereka untuk tidak meninggalkan posisi mereka baik muslimin kalah atau menang. Pada awalnya muslimin mampu memukul mundur pasukan musyrikin sehingga tiba saatnya mereka memunguti harta rampasan perang.

Para pemanah menyangka bahwa perang telah usai dan mengira tidak ada manfaatnya lagi mereka tetap di atas bukit. Sehingga sebagian mereka ingin turun, tetapi ditegur oleh sebagian yang lain dengan pesan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tidak turun. Namun sebagian nekad turun dan bermaksiat pada perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itulah sebagian musyrikin melihat benteng pertahanan muslimin di atas bukit telah bisa ditembus sehingga mereka menyerang dari belakang bukit sisa-sisa pasukan pemanah sehingga mereka terbunuh.

Mereka pun menyerang muslimin dari belakang dalam keadaan pedang-pedang telah dimasukkan ke dalam sarungnya. Lalu datang pula serangan dari depan hingga mereka terjepit. Gugurlah sekian sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai syuhada dan sebagian lagi terluka, sampai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun terluka dan terperosok ke dalam lubang yang dibuat oleh musyrikin. Sehingga mereka pulang ke Madinah dengan kekalahan, kaki terseok-seok, serta tubuh yang penuh luka. Itu semua disebabkan kemaksiatan sebagian pasukan muslimin.

Cobalah perhatikan! Dengan satu kemaksiatan, kemenangan yang sudah di depan mata hilang. Dan pahitnya kekalahan dirasakan oleh seluruh pasukan, padahal di dalamnya ada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang mulia. Maka bisa dibayangkan bagaimana orang–orang yang setiap saat melanggar perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak takutkah mereka terhadap adzab yang akan ditimpakan?!


Tidak Mengentengkan Dosa

Terkadang seseorang menganggap enteng suatu dosa terlebih jika itu dosa kecil. Sehingga ia terus-menerus melakukannya dan kurang memedulikannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan akan hal ini dengan sabdanya:

إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ فَإِنَّمَا مَثَلُ مُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ كَمَثَلِ قَوْمٍ نَزَلُوا بَطْنَ وَادٍ، فَجَاءَ ذَا بِعُوْدٍ وَجَاءَ ذَا بِعُودٍ، حَتَّى حَمَلُوا مَا انْضَجُّوا بِهِ خُبْزَهُمْ وَإِنَّ مُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ مَتَى يُؤْخَذْ بِهَا صَاحِبُهَا تُهْلِكْهُ

“Berhati-hatilah kalian dari dosa-dosa kecil. Karena perumpamaan dosa kecil seperti suatu kaum yang singgah pada suatu lembah lalu datang seorang dengan membawa satu dahan (kayu bakar) dan yang lain (juga) membawa satu dahan hingga mereka telah mengumpulkan sesuatu yang bisa menjadikan roti mereka matang. Dan sesungguhnya dosa-dosa kecil, ketika pelakunya diadzab dengannya maka akan membinasakannya.” (HR. Ahmad, Ath-Thabarani, dan lain-lain dari jalan Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ no. 2686)

Waspadalah dari dosa dan jangan tertipu karena kecil atau sedikitnya. Lihatlah bagaimana dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memotong tangan seorang pencuri karena mencuri (hanya) 3 dirham seperti dalam Shahih Al-Bukhari (no. 6795).

Dan seorang wanita masuk neraka gara-gara kucing yang dikurungnya. Dia tidak memberinya makan dan tidak melepasnya agar bisa memakan serangga bumi sehingga kurus dan mati. (Lihat Shahih Muslim no. 2619)

Demikian pula dahulu di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seorang yang terbunuh di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga para sahabat memberikan ucapan selamat kepadanya. Tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Tidak. Sesungguhnya pakaian yang dia curi dari harta rampasan perang Khaibar yang belum dibagi-bagi akan menyala atasnya api neraka.” [Lihat Shahih Muslim no.115 Kitabul Iman]


Menjauhi Tempat Maksiat

Pelaku maksiat membawa kesialan bagi dirinya dan orang lain. Sebab dikhawatirkan akan turun kepadanya adzab yang menyebar kepada yang lainnya, terkhusus bagi yang tidak mengingkari kemaksiatannya. Sehingga menjauh dari pelaku maksiat adalah suatu keharusan. Karena, jika kejahatan telah merajalela maka manusia akan binasa secara umum.

Demikian pula tempat-tempat orang yang bermaksiat dan tempat diadzabnya pelaku maksiat harus dijauhi karena dikhawatirkan turunnya adzab. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabatnya tatkala melewati daerah kaum Tsamud yang diadzab Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya): “Janganlah kalian masuk kepada mereka-mereka yang diadzab kecuali dengan menangis, karena dikhawatirkan akan menimpa kalian apa yang telah menimpa mereka.” (HR. Ahmad, lihat Ash-Shahihah no. 19)

Demikian pula tatkala ada seorang dari Bani Israil yang telah membunuh seratus nyawa lalu ia ingin bertaubat dan bertanya kepada seorang ‘alim, apakah masih ada taubat baginya? Dia menjawab: “Ya.” Lalu dia menyarankan orang itu untuk pergi dari kampungnya yang jahat ke kampung yang baik.

Dari sini jelas bahwa menjauhi tempat-tempat maksiat dan pelaku maksiat termasuk perkara yang diperintahkan. Ibrahim bin Ad-ham rahimahullahu mengatakan: “Barangsiapa ingin taubat, hendaklah ia keluar dari tempat-tampat kedzaliman serta meninggalkan bergaul dengan orang yang dahulu ia bergaul dengannya (dalam maksiat). Jika hal ini tidak dilakukan maka dia tidak mendapatkan yang diharapkan.”

Waspadailah dosa karena dia suatu kesialan! Akibatnya sangat tercela, hukumannya pedih, hati yang menyukainya berpenyakit. Terbebas dari dosa suatu keberuntungan, selamat dari dosa tak ternilaikan, dan terfitnah (diuji) dengan dosa terlebih setelah rambut beruban adalah musibah besar. (Lihat Qala Ibnu Rajab hal. 53-55)


Segera Kembali ke Jalan Allah

Wahai orang yang tenggelam dalam dosa dan perbuatan nista, kembalilah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala! Sadarlah bahwa kamu akan menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mempertanggungjawabkan segala amal perbuatanmu di dunia ini! 

Belumkah tiba saatnya engkau berhenti dari diperbudak setan yang ujungnya engkau menjadi temannya di neraka yang menyala-nyala?! Lepaskanlah belenggu setan yang melilit dirimu, dan larilah menuju Ar-Rahman (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dengan bersimpuh di hadapan-Nya, niscaya kamu diberi jaminan keamanan dan kebahagiaan. Lembaran hitam kelammu akan diganti dengan yang putih lagi bersih serta akan dibentangkan di hadapanmu jalan yang terang. 

Bersegeralah sebelum segala sesuatunya terlambat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَتُوبُوا إِلَى اللهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang–orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An-Nur: 31)


Wallahu a’lam.




HAK ISTRI KEWAJIBAN SUAMI


Dalam Islam memberi nafkah kepada istri dan anak dimasukkan dalam kategori ibadah. 
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash, Rasulullah SAW telah bersabda kepadanya, “Engkau tiada memberi belanja demi mencari ridha Allah, melainkan pasti diberi pahala, sekalipun yang engkau suapkan ke dalam mulut istrimu.” (HR. Bukhari Muslim)

Bahkan nilai menghidupi anak dan istri itu lebih utama dari pada menyumbangkan harta demi perjuangan Islam sekalipun, sementara anak dan istri kelaparan. Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Satu dinar yang engkau belanjakan untuk perang di jalan Allah dan satu dinar yang engkau belanjakan untuk istrimu, yang paling besar pahalanya ialah apa yang engkau berikan kepada istrimu.” (HR. Bukhari Muslim)

Istri berhak untuk mendapatkan belanja sewajarnya, tergantung seberapa besar kemampuan suami. Contohnya soal pangan dan pakaian. Kalau suami punya jatah makanan daging dan keju misalnya, maka istri berhak pula untuk mendapatkan makanan sekualitas itu. Sebaliknya bila sang suami cuma mampu membeli nasi dan ikan asin, istri pun tak boleh menuntut untuk bisa makan ayam.

Begitu pula dalam hal memberi pakaian, harus yang sekualitas. Bukan karena alasan suami sering keluar rumah, lantas dibelinya jas kemeja yang mahal-mahal sementara istrinya di rumah dibelikan daster butut.
Abu Sufyan adalah seorang sahabat Rasulullah SAW yang cukup berada. Sayangnya, ia tergolong pelit. Saking pelitnya, ia terlalu sedikit memberikan nafkah belanja kepada istrinya. Sang istri pun nekad, mencuri dari saku suaminya.

Dari Aisyah diceritakan, Hindun, istri Abu Sufyan berkata kepada Nabi, “Sungguh Abu Sufyan adalah orang yang kikir. Ia tidak memberiku belanja yang mencukupi bagi diriku dan anaknya, sehingga aku terpaksa mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya.” Nabi pun menanggapi, “Ambillah sebanyak yang mencukupi dirimu dan anakmu dengan wajar.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tetapi sekali lagi, tetap disesuaikan dengan kemampuan suami. Istri yang baik tak akan merengek-rengek meminta sesuatu yang tak kuat dibeli oleh suaminya. Allah menerangkan dalam surah Ath-Thalaaq ayat 7 : “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”

SEDEKAH ISTRI.
Lalu bagaimana dengan istri yang bekerja dan dari pekerjaannya itu ia bisa menopang biaya hidupnya? Apakah suami tetap berkewajiban memberi nafkah?
Istri meminta atau tidak, memberi nafkah tetap menjadi tanggung jawab seorang suami.
Apakah kalau istri tidak minta lantas suami cuma ongkang-ongkang? Enak betul kalau begitu.
Kendati istrinya berharta sekalipun, atau bergaji yang lumayana besar, tanggungjawab suami tidak gugur begitu saja. Ia wajib untuk tetap bekerja sekuat tenaga, walau dengan hasil minim, demi memenuhi tugas berat ini. Alangkah malunya bila sang istri sibuk dengan kerjanya di kantor sementara suaminya berleha-leha.

Dalam Islam, wanita benar-benar mendapatkan kedudukan sepantasnya yang amat terhormat. Perkawinan tidak mengubah kedudukannya menjadi budak suami. Ia tetap mempunyai hak-hak pribadi yang tak boleh diganggu walau oleh suami. 

Misalkan dalam hal harta kekayaan. Istri yang berasal dari keluarga kaya, bisa jadi mendapat pesangon yang cukup besar dari keluarganya saat akan menikah. Atau didapatnya harta waris yang banyak dari orang tuanya yang meninggal dunia. Maka, Islam mengakui bahwa ia berhak memiliki sendiri hartanya tersebut. Demikian pula aturannya bila istri bekerja dan mendapat penghasilan atas kerjanya itu, maka akan dimasukkan dalam harta pribadinya.

Harta gono-gini (istilah Jawa), yaitu harta milik bersama suami istri yang didapat dari hasil gaji keduanya selama setelah pernikahan, tak ada dalam Islam. Bila istri berpenghasilan, maka bukan lantas milik bersama, tetapi tetap jadi haknya pribadi. Mengenai kerelaan istri untuk memberikan hartanya kepada suami, itu masalah lain, dan dinilai sebagai sedekah.

Adalah sepasang suami istri, Zainab dan Abdullah bin Mas’ud. Sang suami tergolong orang fakir, sementara istrinya memiliki harta pribadi yang lumayan, yang ingin ia sedekahkan.
Maka ia pun mendatangi Rasulullah ditemani seorang wanita yang punya kepentingan sama. Ketika di depan rumah beliau mereka bertemu Bilal, berkata Zainab, “Katakanlah kepada beliau bahwa ada dua orang perempuan yang akan bertanya apakah cukup kalau harta mereka diberikan kepada suami mereka dan kepada anak yatim di rumah-rumah mereka? Tolong jangan kau katakan siapa kami.”
Bilal pun masuk dan menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah SAW. Lebih dahulu beliau bertanya siapakah wanita itu. Bilal pun berkata, “Seorang wanita Anshar dan Zainab.”
Zainab yang mana?
“Istri Abdullah bin Mas’ud.”
“Mereka berdua akan mendapatkan dua pahala. satu pahala ibadah dan satu pahala sedekah,” (HR. Bukhari & Muslim)

Apabila suatu waktu terjadi perceraian, maka harta pribadi istri tetap menjadi haknya.
Kalaupun ada harta gono-gini, maka aturan pembagiannya fifty-fifty yang lazim digunakan orang adalah salah. Menurut Islam, harta istri tetap miliknya, tak ada hak suami atasnya. bagi para wanita, ada kehormatan tinggi tersendiri. Tidak ada kewajiban bagi mereka untuk mencari nafkah. Bukannya menggambarkan wanita sebagai orang yang lemah dan tukang membebani laki-laki, tapi ini adalah penghormatan Islam kepada wanita seubungan dengan tugas mereka yang amat vital di dalam rumah keluarganya.

Seorang ayah wajib membiayai hidup anak-anak perempuannya sampai ia menikah. Bila ayah tidak mempunyai kesanggupan, tanggung jawab ini beralih ke pundak saudara laki-laki.
Rasulullah berkata, “Barangsiapa menanggung belanja tiga anak putri atau tiga saudara perempuan, maka pastilah ia memperoleh surga.” (HR. Thahawi)

Bukan berarti bila saudara perempuan cuma satu lantas gugur kewajiban untuk menanggungnya. Hanya saja, belum dijamin surga. Bila ada tiga perempuan yang jadi tanggungannya, barulah surga bisa dijadikan jaminan. Kalau surga sudah dijanjikan sebagai balasan, dapat dipastikan bahwa ini adalah sebuah tugas berat.
Pada saat sang wanita menikah, tanggung jawab penghidupannya ada di tangan suami. Tetapi jika jadi janda, ia kembali menjadi tanggung jawab ayah dan saudara laki-lakinya. Dan bila tak ada seorang pun yang bisa menanggungnya, maka negara lah yang wajib memikirkannya.

Sedangkan kepada anak laki-laki, kewajiban orang tua menafkahi sampai mereka dewasa dan dianggap mampu mencari penghasilan sendiri. Seorang anak laki-laki yang sudah mencapai umur produktif, hendaknya jangan terus menggantungkan diri kepada orang tua. Belum lulus kuliah, bukanlah satu alasan yang tepat untuk mengangggur. Harus diupayakan kuliah sambil bekerja, seberat apapun pekerjaan itu.

Anjuran Islam ini, ternyata diterapkan di negara-negara Eropa dan Jepang. Anak laki-laki di sana merasa malu kalau masih hidup satu rumah dengan keluarganya. Biasanya mereka akan memisahkan diri dengan menyewa flat sederhana. Di sanalah ia belajar bekerja menghidupi diri sendiri sambil menjalani kuliah. Ada yang cuma jadi tukang cuci piring, tukang sapu atau penjual minuman, tetapi mereka bangga dengan hasil keringat sendiri. Hanya sayangnya, kesendirian mereka itu memberikan kesempatan untuk berbebas-bebas semaunya.

Seorang datang kepada Rasulullah dan bertanya, “Pekerjaan macam mana yang baik ya Rasulullah?” jawab beliau, “Seorang yang bekerja dengan tangannya sendiri.” (HR. Bazzar)

laki-laki dewasa yang tidak mau bekerja itu tercela dalam Islam. Mereka yang masih membebani orang tua, sama halnya merampas hak bagi adik-adiknya yang lain.

Semoga Bermanfaat bagi pembaca

Minggu, 28 Oktober 2012

8 Nasehat Kehidupan Hatim Al Asham


Dikisahkan suatu saat Syaqiq Al-Balkhi bertanya kepada muridnya, Hatim Al-Asham,
Sejak sejak kapan engkau belajar bersamaku?”, tanya Syaqiq,

Sejak tigapuluh tahun guruku”, jawab Hatim.
 “Apakah yang engkau pelajari selama itu, wahai Hatim?”, tanya Syaqiq
Delapan hal guruku”, jawab Hatim.
Innalillah wa inna ilaihi raji’un, terbuang percuma sajalah umurku bersamamu”, Syaqiq pun kecewa.

Guruku, aku tidak pelajari yang lain dan aku tidak ingin berdusta”, jawab Hatim,

Uraikanlah kedelapan hal itu Hatim”, pinta Syaqiq
Kemudian Hatim Al-Asham pun menjelaskannya :
Pertama, :
Ketika aku memandangi makhluk yang ada di dunia ini, aku melihat masing-masing mempunyai kekasih, dan ia ingin selalu bersama kekasihnya bahkan hingga ke dalam kuburnya.
Ketika kekasihnya telah ke kubur, ia merasa kecewa karena ia tidak dapat lagi bersamanya masuk ke dalam kubur dan berpisah dengannya.
Maka dari itu, aku ingin menjadikan perbuatan baik sebagai kekasihku, sebab jika aku masuk kubur, maka ia pun akan ikut bersamaku
Benar sekali Hatim!”, ujar Syaqiq, “Apa yang kedua?”

Kedua, :
Ketika ada firman Allah SWT,
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal.” (QS. An Nazi’at :40-41)
Maka dari itu aku berusaha menolak hawa nafsu sehingga aku tetap taat kepada Allah SWT
Yang ketiga?” ujar Syaqiq

Ketiga, :
Aku memandangi makhluk yang ada di dunia ini, aku melihat setiap makhluk memiliki benda, menghargainya, memandangnya bernilai, dan menjaganya. Kemudian ku perhatikan firman Allah SWT,
“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. An Nahl :96)
Maka dari itu setiap kali aku mendapatkan sesuatu yang berharga dan bernilai, ia pun kuhadapkan kepada Allah (sedekah), agar kekal di sisiNya.
Yang keempat?” ujar Syaqiq

Keempat, :
Ketika kupandangi makhluk yang ada di dunia ini, aku melihat masing-masing orang selalu menaruh perhatian terhadap harta, kebangsawanan, kemuliaan, dan keturunan. Lalu ketika kupandangi semua itu, tiba-tiba tampak tidak ada apa-apanya. Kemudian kuperhatikan firman Allah SWT,
"..Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat :13)
Maka dari itu aku pun bertaqwa kepada Allah, semoga aku menjadi mulia di sisiNya.
Yang kelima?” ujar Syaqiq

Kelima, :
Ketika kupandangi makhluk yang ada di dunia ini, ternyata mereka suka saling menghina dan menggunjing satu sama lain. Penyebabnya adalah kedengkian, kemudian kuperhatikan firman Allah SWT,
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu?  Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain.  Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Az Zukhruf :43:32)
Maka dari itu perasaan dengki pun kutinggalkan. Aku tahu bahwa pembagian rizki itu dari Allah.
Yang keenam?” lanjut Syaqiq

Keenam, :
Ketika kupandangi makhluk yang ada di duna ini, ternyata mereka suka berbuat kedurhakaan dan berperang satu sama lain, akupun kembali kepada firman Allah SWT,
“Sesungguhnya  syaitan  itu  adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh, karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala”
(QS. Fathir :6)
Maka dari itu kujadikan syetan sebagai musuhku satu-satunya dan akupun sangat berhati-hati kepadanya, karena Allah menyatakan syetan adalah musuhku.
Syaqiq melajutkan pertanyaannya : “Yang ketujuh?”

Ketujuh, :
Ketika kupandangi makhluk yang ada di dunia ini aku melihat masing-masing orang mencari sepotong dari dunia ini. Lalu ia menghinakan diri padanya dan memasuki bagiannya yang dilarang kemudian kuperhatikan firman Allah SWT,
“Dan tidak ada suatu binatang melata  pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya . Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata .” (QS.Huud :6)
Maka dari itu kukerjakan apa yang menjadi hak Allah pada diriku, dan kutinggalkan apa yang menjadi hak Allah pada diriku,

Yang  terakhir, :
Kupandangi makhluk yang ada di dunia ini, aku melihat masing-masing orang menggantungkan diri pada makhluk lain. Yang satu pada benda yang dicintainya, yang lain pada perniagaannya, dan perusahaannya, atau pada kesehatan tubuhnya. Masing-masing bergantung pada benda. Lalu aku kembali pada firman Allah,
“..Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”
(QS. Ath Thalaq :3)
Maka dari itu akupun bertawakkal kepada Allah, ternyata Allah mencukupi keperluanku.
Hatim, semoga Allah SWT melimpahkan karuniaNya kepadamu”, ujar Syaqiq
Sumber :
Diambil dari kitab Ihya’ Ulumiddin Jilid 1 Bab Ilmu
lenteracentre.com

LAKNAT TERSAMAR DI BALIK NIKMAT

Idealnya, setiap nikmat yang kita terima dari Allah SWT akan menambah kebahagiaan dan kesenangan dalam hidup. Sebab, ketika menggambarkan nikmat yang dilimpahkan kepada hamba-Nya, Allah selalu menyebutnya sebagai kesenangan (QS Ali Imran; 14), berkah (QS al-A'raf; 96), dan karunia (QS at-Taubah; 76).

Namun, ada satu kondisi di mana nikmat bisa berubah menjadi laknat dan karunia yang diberikan merupakan murka Allah SWT. Inilah yang disebut dengan istidraaj. Istidraaj adalah pemberian Allah kepada orang yang sering melakukan maksiat kepada-Nya. Semakin mereka melupakan Allah, Allah tetap akan menambahkan kesenangan bagi mereka. Akibatnya, mereka semakin terjerumus dan Allah akan menjatuhkan siksa yang sangat pedih.

Rasulullah SAW mengingatkan, "Jika kamu melihat Allah memberikan kemewahan dunia kepada seseorang yang suka melanggar perintah-Nya, maka itu adalah istidraaj." (HR Ahmad).

Ada tiga golongan yang potensial ditimpa istidraaj. 

Pertama, orang-orang yang diberi nikmat kekuasaan, lalu ia menjadi sombong dan sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Maka, Allah memperpanjang masa kekuasaannya sehingga ia semakin terjerumus dalam kesombongan dan kesewenang-wenangan tersebut.

Golongan ini di antaranya tepersonifikasi lewat sosok Firaun. Ketika Allah memberinya kekuasaan, Firaun sering bertindak semena-mena. Lalu, Allah tambahkan kekuasaannya, dan Firaun semakin takabur hingga mengaku dirinya sebagai tuhan. Dan Allah akhirnya menjatuhkan azab yang sangat pedih dengan menenggelamkan Firaun di Laut Merah.

Dalam sejarah modern, banyak pemimpin yang mengulang kesalahan Firaun. Sekalipun dalam skala yang berbeda. Dan Allah pun menjatuhkan mereka lewat proses yang sangat menyakitkan.

Kedua, orang-orang yang diberi nikmat ilmu. Baik ilmu dunia maupun ilmu agama. Bagi yang diberi nikmat ilmu dunia, pertanda istidraaj adalah ketika ilmu mereka banyak menimbulkan kerusakan, bukan membangun. Ilmunya menjadi mudarat, bukan manfaat. Sementara yang diberi kelebihan ilmu agama, istidraaj bisa berawal dari popularitas. Ketika mereka terbuai oleh popularitas itu, Allah pun menjatuhkan mereka dengan cara yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.

Ketiga, orang-orang yang diberi nikmat harta. Kisah Qarun dan Tsa'labah bin Hathib adalah cermin terang bagaimana Allah SWT menimpakan istidraaj kepada orang-orang yang membalas nikmat Allah dengan kemaksiatan. Sehingga, sekalipun Allah terus mengucurkan nikmat duniawi kepada mereka, sesungguhnya di balik itu semua adalah laknat dan murka Allah SWT. Na'udzubillah.


Semoga Berguna bagi kita semua

by wise Devil

Belajar Dari Pohon

Suatu ketika, seorang guru bertanya pada Sang Maha Guru, “Wahai Maha Guru, aku ingin menjadi guru yang sejati bagi anakku, juga bagi murid-muridku. Apakah Maha Guru memiliki pesan untukku, agar setiap kali mengajar aku akan selalu teringat pesan bijaksanamu?”
Sang Maha Guru terdiam sejenak. Lalu sambil tersenyum arif ia bertanya, “Apakah kamu pernah melihat pepohonan di sekitarmu?”
“Ya, tentu saja,” kata si guru.
Sang Maha Guru bertanya kembali, “Apakah kamu benar-benar melihat dan memperhatikan apa yang mereka lakukan?”
Si guru menggaruk-garuk kepalanya, “Setahuku mereka diam saja dan tidak melakukan apa-apa.”
Sang Maha Guru tersenyum lagi, lalu mulailah ia berpesan :
“Jadilah seperti pohon. Perhatikanlah, ia diam tak banyak bicara hingga kamu tidak menyadari apa yang dilakukannya. Padahal ia selalu memberimu udara untuk dihisap. Lihatlah bagaimana ia memberi udara pada semua orang tanpa memandang apakah kamu miskin atau kaya. Atau apakah kamu lahir dari kelompok etnik tertentu. Ia memberi udara bagi semua orang tanpa memandang agama, ras dan suku bangsa. Apakah kamu bersedia membagi ilmumu untuk semua orang tanpa pilih kasih?”
“Jadilah seperti pohon. Ia tidak banyak berbicara tapi terus bertumbuh setiap hari. Jika sudah tidak bertumbuh maka ia akan mati. Apakah dirimu merasa terus bertumbuh?”
“Jadi seperti pohon. Apabila sudah besar, ia akan menaungi siapa saja yang berada dibawahnya, tak peduli itu manusia atau hewan. Apakah kamu merasa dirimu sudah semakin besar dan menaungi apa saja yang berada dibawahmu?”
“Jadilah seperti pohon yang selalu menyejukkan, memperindah dan mempercantik tempat-tempat gersang. Apakah kamu merasa kehadiranmu telah membuat hati-hati yang gersang menjadi sejuk dan indah kembali?”
“Jadilah seperti pohon. Satu-satu kehidupan yang tumbuh ke atas dan berhasil melawan kuatnya gravitasi Bumi. Apakah kamu merasa dirimu telah berhasil melawan kuatnya godaan dan tantangan akan terus bertumbuh menjadi manusia dan guru yang lebih baik dari hari ke hari?”
“Jadilah seperti pohon yang menyuburkan tanah di sekitarnya dan menyimpan air di bawahnya untuk kehidupan semua makhluk hidup lainnya. Apakah kamu sudah menyuburkan lingkungan sekitarmu?”
“Jadilah seperti pohon, Seandainya sudah mati pun tubuhnya masih berguna bagi kesuburan tanah atau menjadi bahan baku tempat tinggal yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.”

Selasa, 03 Juli 2012

Keajaiban Bersyukur Dan berpikir Positif

Hal apapun akan terasa indah bagi orang- orang yang bersyukur. Lihatlah betapa keajaiban selalu melingkupi kehidupan orang-orang yang penuh syukur dan tidak lupa melihat kebawah, dalam menyikapi sebuah masalah yang datang dalam hidupnya. Tidak seperti air yang beriak, dia tidak mudah berteriak, marah ataupun menggerutu dengan apapun yang datang kepadanya, kecuali malah dipersilahkannya mendidik dirinya agar menjadi lebih indah.

Orang yang bersyukur dengan otomatis akan mensetting pola pikirnya menuju yang positif. Dan ibarat yang mendera fisik dan batinnya pun tetap disikapinya dengan senyum.

Pikirannya menuntunnya untuk berpendapat bahwa, mungkin kesakitan itu untuk menghapus dosanya, atau mungkin mengingatkan dia agar lebih dekat kepada yang kuasa dan beristigfar atas semua dosa dan khilafnya.

Bagi orang yang mudah meringankan hatinya untuk bersyukur, akan merasa sangat menyayangkan sekali ketika dia hanya bisa menilai orang dari sudut pandang kelemahan mereka saja. Karena kesyukuran itu bukan hanya diterapkan kepada jalan hidupnya, namun juga dalam ringannya penerimaan orang lain untuk masuk ke dalam hatinya. Tidak mudah mulutnya mencaci, dan berat bagi hatinya untuk mengghibah kekurangan saudaranya, walau hanya dia dan Allah saja yang mengetahui.

Pikirannya berkata, `ah, betapa sudah banyak orang yang dengan pola pikir negatif dan selalu merongrong saudaranya seperti itu. Dan itu sama sekali tidak menjadikan diri mereka sendiri hebat atau lebih hebat, tapi malah sebaliknya. Memanglah ada kekurangan dalam diri orang tersebut, tapi bukankah kelebihannya juga ada. Allah tidak akan mungkin mendholimi orang itu dengan tidak menciptakan keseimbangan atas keburukan dan kelebihannya. Atau jangan- jangan malah kelebihannya lebih banyak? Atau jangan- jangan dia lebih mulia dihadapan Allah dari pada diriku sendiri?. Dan bukankah kekurangannya juga bukan hanya merupakan cobaan baginya saja, namun juga bagiku agar aku lebih belajar sabar?. Sungguh Allah memang maha benar dalam mendidikku`.

Subhanallah, masalah yang melingkupi dunia ini akan terasa sangat indah bagi orang- orang yang bersyukur dan berpikir positif.

Pun demikian ketika dia harus berhadapan dengan pasangan hidupnya. Kekurangan yang ada pada pasangannya di anggap sebuah proyek seumur hidup yang memang akan menggemblengnya menjadi pribadi yang lebih indah. Memang, terkadang ada sedikit komplain, namun lebih banyaklah senyum dan gerak nyata untuk sebuah perbaikan. Bukan hanya sekedar jalan ditempat, tanpa harapan berarti.

Baginya, pasangan adalah pasti hadiah dari sang maha kuasa. Yang harus disayangi dan diperlakukan dengan kasih sayang, termasuk sepaket dengan kekurangan mereka. Pasangan mereka adalah cermin pridadinya sendiri, persis ketika Allah yang maha kuasa berfirman bahwa, orang yang baik atau buruk, akan diberikan level yang sama sebagai pasangannya. Dalam hati orang yang bersyukur ini, sungguh tidak ada masalah yang akan diberikan Allah melebihi kemampuan dirinya. Dan akhirnya, semuanya terasa ringan untuk dijalani.

Dan hidup adalah tentang pilihan, dan setiap hari kita dihadapkan kepada pilihan- pilihan yang banyak sebagi obyek pembentuk masa depan kita nanti. Dan bukankah tidak ada manusia yang ingin kesulitan datang kepadanya disebabkan kekeliruannya sendiri? Maka mengapa kita tidak memilih bersyukur dan berpikir positif sehingga kebahagiaan yang insyaallah akan selalu menghampiri kita? Mengapa harus menyulitkan diri sendiri?.

Kekurangan dan kesusahan tanpa kita mencari dan mengundangnya, pastilah akan sudah ada. Tapi kebahagiaan dan kedamaian adalah sesuatu yang memang harus diperjuangkan agar kita mendapatkan. Tapi hal itulah justru yang membentuk harapan untuk hidup selalu akan ada. Dan hal itu adalah penting, karena sedetik orang tak punya uang, dia pun bisa tetap mencari, tapi sedetik orang tak punya lagi harapan dan gairah untuk hidup, maka baginya dimanapun di sudut dunia ini, adalah tidak lagi berarti.

Dan harapan itu akan selalu ada bagi orang- orang yang bersyukur dan berpikir positif. InsyaAllah.

Dalil atau Hukum Perayaan Malam Nisyfu

Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman (yang artinya) : "Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam sebagai agama bagimu ". (QS. Al Maidah : 3). Dan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam pernah pernah bersabda (yang artinya): "Barang siapa mengada-adakan satu perkara (dalam agama) yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak ". (HR. Bukhari Muslim) dalam riwayat Muslim (yang artinya): "Barang siapa mengerjakan perbuatan yang tidak kami perintahkan (dalam agama) maka ia tertolak". Masih banyak lagi hadits-hadits yang senada dengan hadits ini, yang semuanya menunjukan dengan jelas, bahwasanya Allah telah menyempurnakan agama ini untuk umat-Nya. Dia telah mencukupkan nikmat-Nya bagi mereka. Dia tidak mewafatkan nabi Muhammad Shalallahu’alaihi Wassallam kecuali setelah beliau menyelesaikan tugas penyampaian risalahnya kepada umat dan menjelaskan kepada mereka seluruh syariat Allah, baik melalui ucapan maupun pengamalan. Beliau menjelaskan segala sesuatu yang akan diada-adakan oleh sekelompok manusia sepeninggalnya dan dinisbahkan kepada ajaran Islam baik berupa ucapan ataupun perbuatan, semuanya bid'ah yang tertolak, meskipun niatnya baik. Para sahabat dan ulama mengetahui hal ini, maka mereka mengingkari perbuatan-perbuatan bid'ah dan memperingatkan kita dari padanya. Hal ini disebutkan oleh mereka yang mengarang tentang pengagungan sunnah dan pengingkaran bid'ah seperti Ibnu Wadhah dan Abi Syamah dan lainnya. Diantara bid'ah yang biasa dilakukan oleh banyak orang adalah bid'ah mengadakan upacara peringatan malam nisyfu sya'ban dan mengkhususkan hari tersebut dengan puasa tertentu. Padahal tidak ada satupun dalil yang dapat dijadikan sandaran, memang ada beberapa hadits yang menegaskan keutamaan malam tersebut akan tetapi hadits-hadits tersebut dhaif sehingga tidak dapat dijadikan landasan. Adapun hadits-hadits yang menegaskan keutamaan shalat pada hari tersebut adalah maudhu' (palsu). A1 Hafidz ibnu Rajab dalam bukunya "Lathaiful Ma'arif ' mengatakan bahwa perayaan malam nisfu sya'ban adalah bid'ah dan hadits-¬hadits yang menerangkan keutamaannya adalah lemah. Imam Abu Bakar At Turthusi berkata dalam bukunya `alhawadits walbida' : "Diriwayatkan dari wadhoh dari Zaid bin Aslam berkata :"kami belun pernah melihat seorangpun dari sesepuh ahli fiqih kami yang menghadiri perayaan nisyfu sya'ban, tidak mengindahan hadits makhul (dhaif) dan tidak pula memandang adanya keutamaan pada malam tersebut terhadap malam¬-malam lainnya". Dikatakan kepada Ibnu Maliikah bahwasanya Ziad Annumari berkata: "Pahala yang didapat (dari ibadah ) pada malam nisyfu sya'ban menyamai pahala lailatul qadar. bnu Maliikah menjawab : Seandainya saya mendengar ucapannya sedang ditangan saya ada tongkat, pasti saya pukul dia. Ziad adalah seorang penceramah. Al Allamah Syaukani menulis dalam bukunya, fawaidul majmuah, sebagai berikut : Hadits : "Wahai Ali barang siapa melakukan shalat pada malam nisyfu sya'ban sebanyak seratus rakaat : ia membaca setiap rakaat Al Fatihah dan Qulhuwallahuahad sebanyak sepuluh kali, pasti Allah memenuhi segala .... dan seterusnya. Hadits ini adalah maudhu', pada lafadz-lafadznya menerangkan tentang pahala yang akan diterima oleh pelakunya adalah tidak diragukan kelemahannya bagi orang berakal, sedangkan sanadnya majhul (tidak dikenal). Hadits ini diriwayatkan dari jalan kedua dan ketiga, kesemuanya maudhu ' dan perawi¬-perawinya majhul. Dalam kitab "Al-Mukhtashar" Syaukani melanjutkan : "Hadits yang menerangkan shalat nisfu sya'ban adalah batil" . Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dari Ali : "...Jika datang malam nisfu sya'ban bershalat malamlah dan berpusalah pada siang harinya". Inipun adalah hadits yang dhaif. Dalam buku Al-Ala'i diriwayatkan : "Seratus rakaat dengan tulus ikhlas pada malam nisfu sya'ban adalah pahalanya sepuluh kali lipat". Hadits riwayat Ad-Dailamy, hadits ini tidak maudhu; tetapi mayoritas perawinya pada jalan yang ketiga majhul dan dho'if. Imam Syaukani berkata : "Hadits yang menerangkan bahwa dua belas raka' at dengan tulus ikhlas pahalanya adalah tiga puluh kali lipat, maudhu'. Dan hadits empat belas raka'at ....dst adalah maudhu". Para fuqoha' banyak yang tertipu oleh hadits-¬hadits maudhu' diatas seperti pengarang Ihya' Ulumuddin dan sebagian ahli tafsir. Telah diriwayatkan bahwa sholat pada malam itu yakni malam nisfu sya'ban yang telah tersebar ke seluruh pelosok dunia semuanya adalah bathil (tidak benar) dan haditsnya adalah maudhu'. Al-Hafidh Al-Iraqy berkata : "Hadits yang menerangkan tentang sholat nisfu sya'ban maudhu' dan pembohongan atas diri Rasulullallah Shalallahu’alaihi Wassallam. Dalam kitab Al-Majmu', Imam Nawawi berkata :"Shalat yang sering kita kenal dengan shalat ragha'ib berjumlah dua belas raka'at dikerjakan antara maghrib dan isya' pada malam jum'at pertama bulan rajab, dan sholat seratus raka'at pada malam nisfu sya'ban, dua sholat ini adalah bid'ah dan mungkar. Tak boleh seorangpun terpedaya oleh kedua hadits tersebut hanya karena telah disebutkan didalam kitab Qutul Qulub dan Ihya' Ulumuddin, sebab pada dasarnya hadits-haduts tersebut bathil (tidak boleh diamalkan). Kita tidak boleh cepat mempercayai orang-orang yang menyamarkan hukum bagi kedua hadits yaitu dari kalangan a'immah yang kemudian mengarang lembaran-¬lembaran untuk membolehkan pengamalan kedua hadits tersebut. Syaikh Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Isma' il Al-Maqdisy telah mengarang suatu buku yang berharga; beliau menolak (menganggap bathil) kedua hadits diatas. Dalam penjelasan diatas tadi, seperti ayat-ayat Al-Qur'an dan beberapa hadits serta pendapat para ulama jelaslah bagi pencari kebenaran (haq) bahwa peringatan malam nisfu sya' ban dengan pengkhususan sholat atau lainnya, dan pengkhususan siang harinya degan puasa itu semua adalah bid’ah dan mungkar tidak ada dasar sandarannya didalam syari'at Islam ini, bahkan hanya merupakan perkara yang diada-adakan dalam Islam setelah masa hidupnya para shahabat. Marilah kita hayati ayat Al-Qur'an dibawah ini (yang artinya): "Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan Ku-Ridhoi Islam sebagai agamamu". Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat diatas. Selanjutnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): "Barang siapa mengada-adakan satu perkara (dalam agama) yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak". (HR. Bukhari Muslim). Dalam hadits lain beliau bersabda (yang artinya): "Janganlah kamu sekalian mengkhususkan malam jum 'at dari pada malam-malam lainnya dengan suatu sholat, dan janganlah kamu sekalian mengkhususkan siang harinya untuk berpuasa dari pada hari-hari lainnya, kecuali jika sebelum hari itu telah berpuasa" (HR. Muslim). Seandainya pengkhususan suatu malam dengan ibadah tertentu itu dibolehkan oleh Allah, maka bukankah malam jum'at itu lebih baik dari pada malam-malam lainnya, karena hari jum'at adalah hari yang terbaik yang disinari oleh matahari ? Hal ini berdasarkan hadits-hadits Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam yang shohih. Tatkala Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam telah melarang untuk mengkhususkan sholat pada malam hari itu ini menunjukkan malam yang lainnya lebih tidak boleh lagi. Kecuali jika ada dalil yang shohih yang mengkhususkannya. Manakala malam lailatul Qadar dan malam¬-malam bulan puasa itu disyari'atkan supaya sholat dan bersungguh-sungguh dengan ibadah tertentu, Nabi mengingatkan dan menganjurkan kepada ummatnya agar supaya melaksanakan¬nya, beliaupun juga mengerjakannya. Sebagaimana disebutkan didalam hadits yang shohih (yang artinya): "Barang siapa melakukan sholat pada malam bulan ramadhan dengan penuh rasa iman dan mengharap pahala niscaya Allah akan mengampuni dosanya yang telah lewat. Dan barangsiapa yang melakukan sholat pada malam lailatul Qadar dengan penuh rasa iman niscaya Allah akan mengampuni dosa yang telah lewat" (Muttafaqun 'alahi). Jika seandainya malam nisfu sya'ban, malam jum'at pertama pada bulan rajab, serta malam isra' mi'raj diperintahkan untuk dikhususkan dengan upacara atau ibadah tertentu, pastilah Rasululah Shalallahu’alaihi Wassallam menjelaskan kepada ummatnya atau menjalankannya sendiri. Jika memang hal ini pernah terjadi, niscaya telah disampaikan oleh para shahabat kepada kita, mereka tidak akan menyembunyikannya, karena mereka adalah sebaik-baik manusia clan yang paling banyak memberi nasehat setelah Rasululah Shalallahu’alaihi Wassallam. Dari pendapat-pendapat ulama tadi anda dapat menyimpulkan bahwa tidak ada ketentuan apapun dari Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam ataupun dari para sahabat tentang keutamaan malam malam nisfu sya'ban dan malam jum'at pertama pada bulan Rajab. Dari sini kita tahu bahwa memperingati perayaan kedua malam tersebut adalah bidah yang diada-adakan dalam Islam, begitu pula pengkhususan dengan ibadah tertentu adalah bid'ah mungkar; sama halnya dengan malam 27 Rajab yang banyak diyakini orang sebagai malam Isra dan Mi'raj, begitu juga tidak boleh dirayakan dengan upacara-upacara ritual, berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan tadi. (Diringkas/ disadur dari kitab Tahdzir minul bida' karya Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Oleh An Nafi'ah dan redaksi).

Selasa, 14 Februari 2012

GHIBAH, NASEHAT atau KEBEBASAN BICARA dalam DEMOKRASI?

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad yang telah bersabda:

من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Amma ba’du.

Saudaraku sekalian, ghibah atau menggunjing adalah perbuatan yang pada asalnya dilarang oleh Islam. Ghibah adalah perbuatan dosa besar, yang bahkan Allah menyamakan orang yang melakukan ghibah dengan orang yang memakan bangkai saudaranya, Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah sebagian kalian menggunjingkan (ghibah) sebagian yang lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujuuraat: 12)

Meskipun demikian ada sebagian ghibah yang diperbolehkan atau bahkan disyariatkan. Karena dengan cara itulah pemahaman agama ini akan selamat dari penyimpangan dan kesesatan. Dalam kesempatan ini kita akan sedikit mengkaji persoalan ini, agar kita bisa membedakan mana nasihat dan mana ghibah yang terlarang.

Pengertian Ghibah

Pengertian ghibah dapat diketahui dengan memperhatikan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya. Beliau membawakan sebuah riwayat: Yahya bin Ayyub menceritakan kepada kami, demikian pula Qutaibah dan Ibnu Hajar. Mereka mengatakan: Isma’il bin Al-’Allaa’ menceritakan hadits kepada kami dari jalan ayahnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam bersabda:

أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

“Tahukah kalian apa itu ghibah?”, Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda, “Yaitu engkau menceritakan tentang saudaramu yang membuatnya tidak suka.” Lalu ditanyakan kepada beliau, “Lalu bagaimana apabila pada diri saudara saya itu kenyataannya sebagaimana yang saya ungkapkan?” Maka beliau bersabda, “Apabila cerita yang engkau katakan itu sesuai dengan kenyataan maka engkau telah meng-ghibahinya. Dan apabila ternyata tidak sesuai dengan kenyataan dirinya maka engkau telah berdusta atas namanya (berbuat buhtan).” (HR. Muslim. 4/2001. Dinukil dari Nashihatii lin Nisaa’, hal. 26)

Keharaman Ghibah

Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: Ghibah itu diharamkan, sedikit maupun banyak. Di dalam Sunan Abu Dawud tercantum sebuah hadits yang diriwayatkan dari jalan ‘Aisyah. Beliau berkata:

حَسْبُكَ مِنْ صَفِيَّةَ كَذَا وَكَذَا قَالَ غَيْرُ مُسَدَّدٍ تَعْنِي قَصِيرَةً فَقَالَ لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ

“Wahai Rasulullah, cukuplah menjadi bukti bagimu kalau ternyata Shafiyah itu memiliki sifat demikian dan demikian.” Salah seorang periwayat hadits menjelaskan maksud ucapan ‘Aisyah bahwa Shafiyah itu orangnya pendek. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh engkau telah mengucapkan sebuah kalimat yang seandainya dicelupkan ke dalam lautan maka niscaya akan merubahnya.”

Di dalam dua Kitab Shahih (Bukhari dan Muslim) juga terdapat riwayat hadits dari jalan Abu Bakrah yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا

“Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, (dan juga kehormatan kalian) semua itu adalah haram atas kalian sebagaimana kesucian hari kalian ini (hari ‘Arafah), pada bulan kalian ini dan di negeri kalian yang suci ini.”

Di dalam Sunan Tirmidzi terdapat riwayat yang menceritakan hadits dari jalan Ibnu ‘Umar, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam naik mimbar dan menyeru dengan suara yang lantang: “Wahai segenap manusia yang masih beriman dengan lisannya namun iman itu belum meresap ke dalam hatinya janganlah kalian menyakiti kaum muslimin. Dan janganlah melecehkan mereka. Dan janganlah mencari-cari kesalahan-kesalahan mereka. Karena sesungguhnya barang siapa yang sengaja mencari-cari kejelekan saudaranya sesama muslim maka Allah akan mengorek-ngorek kesalahan-kesalahannya. Dan barang siapa yang dikorek-korek kesalahannya oleh Allah maka pasti dihinakan, meskipun dia berada di dalam bilik rumahnya.” (Hadits ini tercantum dalam Shahihul Musnad, 1/508)

Di dalam Sunan Abu Dawud juga terdapat riwayat dari Anas bin Malik, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketika aku dimi’rajkan aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga. Dengan kuku-kuku itu mereka mencakar-cakar wajah dan dada-dada mereka sendiri. Maka aku berkata: ‘Siapakah mereka itu wahai Jibril?’ Jibril menjawab, ‘Mereka itu adalah orang-orang yang berani memakan daging-daging manusia serta menjatuhkan kehormatan dan harga diri orang lain’.” (Hadits ini Shahih) (Nashihati lin Nisaa’, hal. 26-27)

Ghibah yang Dibolehkan

Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: Al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan di dalam kitab Tafsir beliau, “Ghibah itu haram berdasarkan kesepakatan (kaum muslimin). Dan tidak dikecualikan darinya satu bentuk ghibah pun kecuali apabila terdapat maslahat yang lebih dominan sebagaimana dalam konteks jarh dan ta’dil (celaan dan pujian yang ditujukan kepada periwayat hadits dan semacamnya -pent) serta demi memberikan nasihat. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ada seorang lelaki bejat yang meminta izin untuk bertemu dengan beliau. Beliau bersabda, “Ijinkan dia masuk. Dia adalah sejelek-jelek kerabat bagi saudara-saudaranya.”

Dan juga sebagaimana perkataan beliau kepada Fathimah binti Qaisradhiyallahu ‘anha ketika Mu’awiyah dan Abu Jahm melamar dirinya. Rasul bersabda, “Adapun Mu’awiyah, maka dia seorang yang tidak mempunyai harta. Sedangkan Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” Dan demikianlah dibolehkan pula (ghibah) untuk kepentingan yang serupa dengan itu. Kemudian selain untuk keperluan semacam itu maka hukumnya adalah sangat diharamkan.” (Nashihati lin Nisaa’, hal. 27-28)

Imam Nawawi menjelaskan bahwa ghibah dibolehkan karena adanya tujuan yang dibenarkan oleh syariat yang tidak mungkin tujuan itu tercapai kecuali dengan menempuh cara ini.

Ghibah yang dibolehkan ini ada enam sebab:

  1. Mengadukan kezaliman orang kepada hakim, raja atau siapa saja yang mempunyai wewenang dan kemampuan untuk menolongnya. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan menganiaya saya dengan cara demikian.”
  2. Meminta bantuan orang demi mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat agar kembali kepada kebenaran. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan telah melakukan demikian maka cegahlah dia dari perbuatan itu!” atau ungkapan semisalnya. Tujuan dibalik pengaduan itu adalah demi menghilangkan kemungkaran, kalau dia tidak bermaksud demikian maka hukumnya tetap haram.
  3. Meminta fatwa. Seperti dengan mengatakan kepada seorang mufti (ahli fatwa): “Ayahku menganiayaku.” atau “Saudaraku telah menzalimiku.” Atau “Suamiku telah menzalimiku.” Meskipun tindakan yang lebih baik dan berhati-hati ialah dengan mengatakan:“Bagaimana pendapat anda terhadap orang yang melakukan perbuatan demikian dan demikian (tanpa menyebut namanya)?”
  4. Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan sebagian orang dan dalam rangka menasihati mereka. Seperti mencela para periwayat hadits dan saksi, hal ini diperbolehkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, bahkan hukumnya wajib karena kebutuhan umat terhadapnya.
  5. Menyebutkan kejelekan pelaku maksiat yang berterang-terangan dalam melakukan dosa atau bid’ahnya, seperti orang yang meminum khamr di depan khalayak, merampas harta secara paksa dan sebagainya, dengan syarat kejelekan yang disebutkan adalah yang terkait dengan kemaksiatannya tersebut dan bukan yang lainnya.
  6. Untuk memperkenalkan jati diri orang. Seperti contohnya apabila ada orang yang lebih populer dengan julukan Al-A’raj (yang pincang), Al-Ashamm (yang tuli), Al-A’ma (yang buta) dan lain sebagainya. Akan tetapi hal ini diharamkan apabila diucapkan dalam konteks penghinaan atau melecehkan. Seandainya ada ungkapan lain yang bisa dipakai untuk memperkenalkannya maka itulah yang lebih utama (lihat Riyadhush Shalihin, dicetak bersama Syarah Syaikh Utsaimin, 4/98-99. penerbit Darul Bashirah)

Dalil-dalil diperbolehkannya ghibah semacam itu

Imam Nawawi menyebutkan dalil-dalil yang mendasari pengecualian ini, yaitu:

1. Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau menceritakan bahwa ada seorang lelaki yang meminta izin bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda:

ائْذَنُوا لَهُ بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ أَوْ ابْنُ الْعَشِيرَةِ

“Ijinkanlah dia, sejelek-jelek kerabat bagi saudaranya.” (Muttafaq ‘alaih)

Imam Nawawi berkata: Al-Bukhari berhujjah dengan hadits ini untuk menyatakan bolehnya mengghibahi para penebar kerusakan dan keragu-raguan aqidah.

2. Dari ‘Aisyah pula, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

مَا أَظُنُّ فُلَانًا وَفُلَانًا يَعْرِفَانِ مِنْ دِينِنَا شَيْئًا قَالَ اللَّيْثُ كَانَا رَجُلَيْنِ مِنْ الْمُنَافِقِين

“Aku kira si Fulan dan si Fulan tidak mengerti tentang agama kita barang sedikitpun.” (HR. Bukhari) Laits bin Sa’ad salah seorang perawi hadits ini berkata: “Kedua orang ini termasuk kalangan orang munafiq.”

3. Dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku katakan:

إَنَّ أَبَا جَهْمٍ و مُعَاوِيَةَ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ (متفق عليه). وفى رواية لمسلم: “وَأَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ” وهو تفسير لرواية: ” فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ”. وقيل معناه كثير الأسفار

“Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku maka bagaimana?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun Mu’awiyah, dia itu miskin tidak berharta. Sedangkan Abul Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” (Muttafaq ‘alaih). Dalam riwayat Muslim diriwayatkan, “Adapun Abul Jahm adalah lelaki yang sering memukuli isteri.” Ini merupakan penafsiran dari ungkapan, “tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” Dan ada pula yang mengatakan bahwa maksud ungkapan itu adalah: orang yang banyak bepergian.

4. Dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

خرجنا مع رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم في سفر أصاب الناس فيه شدة فقال عبد اللَّه بن أبي: لا تنفقوا على من عند رَسُول اللَّهِ حتى ينفضوا، وقال: لئن رجعنا إلى المدينة ليخرجن الأعز منها الأذل، فأتيت رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم فأخبرته بذلك، فأرسل إلى عبد اللَّه بن أبي فاجتهد يمينه ما فعل، فقالوا: كذب زيد رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم، فوقع في نفسي مما قالوه شدة حتى أنزل اللَّه تعالى تصديقي (إذا جاءك المنافقون) المنافقين 1 (ثم دعاهم النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ليستغفر لهم فلووا رؤوسهم (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

Kami pernah berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menempuh suatu perjalanan. Pada saat itu orang-orang mengalami kondisi yang menyulitkan, maka Abdullah bin Ubay berkata: “Janganlah kalian berinfak membantu orang-orang yang ada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai mereka mau bubar.” Dia juga mengatakan, “Seandainya kita pulang ke Madinah, maka orang-orang yang kuat akan mengusir yang lemah.” Maka aku pun menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kukabarkan hal itu kepada beliau. Kemudian beliau pun mengutus orang untuk menanyakan hal itu kepada Abdullah bin Ubay. Maka dia justru berani bersumpah dengan serius kalau dia tidak pernah mengatakannya, maka mereka pun mengatakan, “Zaid telah berdusta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka ucapan mereka itu membuatku diriku susah dan tersakiti sampai akhirnya Allah menurunkan firman-Nya untuk membuktikan kejujuranku, “Apabila orang-orang munafiq datang kepadamu.” (QS. Al-Munafiquun: 1) Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil mereka supaya meminta beliau berdoa memintakan ampun bagi mereka akan tetapi mereka justru memalingkan kepala-kepala mereka. (Muttaafaq ‘alaih)

5. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

قالت هند امرأة أبي سفيان للنبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : إن أبا سفيان رجل شحيح وليس يعطيني ما يكفيني وولدي إلا ما أخذت منه وهو لا يعلم، قال خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

Hindun isteri Abu Sufyan mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah lelaki yang pelit, dia tidak memberikanku sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhanku dan anak-anakku kecuali yang sengaja kuambil sendiri darinya dalam keadaan dia tidak tahu, lantas bagaimana?.” Beliau bersabda, “Ambilah sebanyak yang bisa mencukupimu dan anak-anakmu.”(Muttafaqun ‘alaihi) (lihat Riyadhush Shalihin, dicetak bersama Syarah Syaikh Utsaimin, 4/100 dan 104)

Praktek Ulama Salaf

Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Berbicara tentang cela orang-orang (semacam para periwayat hadits) dalam rangka nasihat untuk membela agama Allah, Rasul dan Kitab-Nya serta untuk menasihati kaum mukminin bukanlah termasuk ghibah, bahkan pelakunya akan mendapat pahala apabila dia memiliki maksud yang tulus seperti itu.” (Al-Baa’itsul Hatsiits, hal. 228)

Pada suatu kesempatan ditanyakan kepada Yahya bin Sa’id Al-Qaththaan:“Apakah engkau tidak merasa khawatir kalau orang yang engkau tinggalkan haditsnya (dinyatakan sebagai rawi yang matruk) menjadi musuhmu pada hari kiamat kelak?” Maka beliau menjawab: “Lebih baik bagiku orang-orang itu menjadi musuhku daripada aku harus bermusuhan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat itu sehingga beliau akan berkata kepadaku: “Mengapa kamu tidak melawan orang-orang yang berdusta atas namaku?” (Al-Baa’itsul Hatsiits, hal. 228)

Dikisahkan oleh Abu Turab An-Nakhasyabi bahwa suatu saat dia mendengar Imam Ahmad bin Hambal sedang membicarakan kritikan atas sebagian periwayat hadits. Maka dia berkata kepada beliau: “Apakah anda hendak menggunjing para ulama?!” Maka Imam Ahmad menjawab:“Celaka kamu! Ini adalah nasihat, bukan menggunjing.” (Al-Baa’itsul Hatsiits, hal. 228)

Wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aaliihi wa shahbihi ajma’iin

Demikian pembahasan yang bisa kami tuliskan, semoga bermanfaat